Next Bupati Lombok Tengah

Senin, 05 Juli 2010

Konsep pembangunan berkelanjutan diatas tentunya tidak berjalan dengan idealnya, pada hakikatnya yang terjadi saat ini adalah bentuk lain dari konsep pembangunan yang telah ada yang tetap saja mempertahankan ekonomi sebagai tujuan utama. Setidaknya konsep pembangunan berkelanjutan menjadikan sakralnya pembangunan dan kondisi lingkungan tetap berada di bawahnya, yang kuat yang menang dan yang lemah menjadi korban, inilah yang menjadi gambaran singkat prisnp-prinsip pembangunan yang ada, ada dua hal yang dapat terlihat dari tragedy pembangunan yang berkelanjutan ;
Pertama Munculnya rezim lingkungan baru : mempertegas legalitas ekspliotasi lingkungan (Pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas) Kapitalisme global yang menurut William Gride dalam bukunya One World, Ready or Not, The manic Global Capitalism melontarkan bahwa sesuai dengan hakekat kapitalisme yang rakus, tidak pernah puas dan terus menguras kekayaan dunia dengan memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki terlebih lagi di sektor lingkungan yang menyediakan sumber daya alam yang menjadi bahan ekploitasi kaum kapitalis . Tindakan Eksploitasi yang dilakukan oleh kapitalis tidak dapat dibendung oleh kekuatan atau peran negara sendiri. Dan bahkan kepentingan nasional suatu negara kerap menjadi mengakomodir kepentingan kaum kapitalis. Kekuatan kapitalisme global telah menggiring negara kepada tindakan yang eksploitatif demi tujuan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi harus dikejar dan semakin baik tinggi tingkat ekonomi adalah sesuatu yang baik. Adanya kepentingan ekonomi inilah yang mendasari tindakan setiap negara seperti dalam konvensi perubahan iklim dunia menghasilkan beberapa keputusan yang sangatlah dangkal dalam prespektif etika lingkungan sekaligus mengurangi efektifitas dari keputusan yang diambil, dimana lingkungan atau alam menjadi sub-ordinasi dari ekonomi atau pembangunan lingkungan berada di bawah pembangunan ekonomi. Sangat dominannya negara maju yang memuat kepentingan pebisnis jangka pendek, telah menjadikan pembahasan perubahan iklim dunia tidak lepas akan nilai-nilai ekonomis.
Kedua munculnya ketergantungan: Ketergantungan dalam pembangunan seringkali berfokus pada penetrasi asing dalam masalah ekonomi politik di negara yang sedang berkembang. Hampir semua negara yang sedang berkembang mengalami penetrasi mendalam oleh negara maju dan cenderung tergantung khususnya pada negara-negara industri maju. Pola ketergantungan yang dulunya bersifat langsung antara negara sedang berkembang terhadap negara maju, perlahan-lahan mengalami perubahan dalam pola hubungannya. Dalam ketergantungan lama, pola hubungan yang terjadi adalah secara langsung antara negara sedang berkembang terhadap negara yang lebih maju dan tanpa ada instrument tertentu yang menjembataninya. Hal ini jauh berbeda dengan gagasan Dos Santos mengenai ketergantungan baru yang juga disebut sebagai ketergantungan industri-teknologi. Dalam ketergantungan baru ini pola hubungannya bersifat tidak langsung, yang artinya hubungan antara negara maju dan sedang berkembang dihubungkan oleh suatu instrumen, dalam hal ini adalah perusahaan multinasional (MNC) yang saat ini telah berhasil menguasai dunia dan meraih pengaruh atas berbagai urusan internasional .
Munculnya ketergantungan baru dalam pembangunan negara sedang berkembang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah penanam modal asing yang berinvestasi di negara sedang berkembang, serta semakin meningkatnya bantuan luar negeri yang berupa hutang yang diberikan oleh negara maju kepada negara sedang berkembang. Oleh sebab itu, 2 hal yang meliputi penanaman modal asing dan hutang pada akhirnya menimbulkan ketergantungan yang semakin besar terhadap negara maju.
Hal lain lagi yang menjadi contoh agenda pembangunan yang beroreintasi terhadap ekonomi adalah Dengan ditetapkannya Millennium Development Goals sebagai program pembangunan baru di negara sedang berkembang sesungguhnya tujuan dibalik itu semua adalah untuk menciptakan suatu pola ketergantungan baru dalam pembangunan di negara sedang berkembang yang diantaranya adalah untuk memuluskan masuknya korporasi-korporasi multinasional melalui delapan tujuan MDGs serta untuk membuat hutang di negara sedang berkembang semakin membengkak. Selain itu secara tidak langsung MDGs merupakan program untuk memudahkan perusahaan-perusahaan multinasional dalam melakukan eksploitasi pembangunan di negara sedang berkembang. Kekayaan alam yang biasanya banyak dimiliki oleh negara sedang berkembang telah dieksploitasi oleh pelaku bisnis, dalam hal ini perusahaan multinasional. Misalnya Indonesia yang kaya akan minyak dan gas bumi saat ini cadangan migasnya semakin berkurang. Ladang-ladang baru terus dibuka dan di tenderkan pada perusahaan asing yang terus menerus menggerogoti sumber daya alam yang seharusnya dinikmati oleh rakyat .
Dengan dua analisa diatas setidaknya memberikan gamabaran atas tragedi yang berlanjut dari konsep pembangunan yang selama ini dikultuskan di beberapa negara dengan berbagai macam model dan kamufalsenya telah mampu merubah cara hidup yang destruktif khusunya dalam permasalahan lingkungan saat ini.
Konsep pembangunan berkelanjutan diatas tentunya tidak berjalan dengan idealnya, pada hakikatnya yang terjadi saat ini adalah bentuk lain dari konsep pembangunan yang telah ada yang tetap saja mempertahankan ekonomi sebagai tujuan utama. Setidaknya konsep pembangunan berkelanjutan menjadikan sakralnya pembangunan dan kondisi lingkungan tetap berada di bawahnya, yang kuat yang menang dan yang lemah menjadi korban, inilah yang menjadi gambaran singkat prisnp-prinsip pembangunan yang ada, ada dua hal yang dapat terlihat dari tragedy pembangunan yang berkelanjutan ;
Pertama Munculnya rezim lingkungan baru : mempertegas legalitas ekspliotasi lingkungan (Pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas) Kapitalisme global yang menurut William Gride dalam bukunya One World, Ready or Not, The manic Global Capitalism melontarkan bahwa sesuai dengan hakekat kapitalisme yang rakus, tidak pernah puas dan terus menguras kekayaan dunia dengan memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki terlebih lagi di sektor lingkungan yang menyediakan sumber daya alam yang menjadi bahan ekploitasi kaum kapitalis . Tindakan Eksploitasi yang dilakukan oleh kapitalis tidak dapat dibendung oleh kekuatan atau peran negara sendiri. Dan bahkan kepentingan nasional suatu negara kerap menjadi mengakomodir kepentingan kaum kapitalis. Kekuatan kapitalisme global telah menggiring negara kepada tindakan yang eksploitatif demi tujuan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi harus dikejar dan semakin baik tinggi tingkat ekonomi adalah sesuatu yang baik. Adanya kepentingan ekonomi inilah yang mendasari tindakan setiap negara seperti dalam konvensi perubahan iklim dunia menghasilkan beberapa keputusan yang sangatlah dangkal dalam prespektif etika lingkungan sekaligus mengurangi efektifitas dari keputusan yang diambil, dimana lingkungan atau alam menjadi sub-ordinasi dari ekonomi atau pembangunan lingkungan berada di bawah pembangunan ekonomi. Sangat dominannya negara maju yang memuat kepentingan pebisnis jangka pendek, telah menjadikan pembahasan perubahan iklim dunia tidak lepas akan nilai-nilai ekonomis.
Kedua munculnya ketergantungan: Ketergantungan dalam pembangunan seringkali berfokus pada penetrasi asing dalam masalah ekonomi politik di negara yang sedang berkembang. Hampir semua negara yang sedang berkembang mengalami penetrasi mendalam oleh negara maju dan cenderung tergantung khususnya pada negara-negara industri maju. Pola ketergantungan yang dulunya bersifat langsung antara negara sedang berkembang terhadap negara maju, perlahan-lahan mengalami perubahan dalam pola hubungannya. Dalam ketergantungan lama, pola hubungan yang terjadi adalah secara langsung antara negara sedang berkembang terhadap negara yang lebih maju dan tanpa ada instrument tertentu yang menjembataninya. Hal ini jauh berbeda dengan gagasan Dos Santos mengenai ketergantungan baru yang juga disebut sebagai ketergantungan industri-teknologi. Dalam ketergantungan baru ini pola hubungannya bersifat tidak langsung, yang artinya hubungan antara negara maju dan sedang berkembang dihubungkan oleh suatu instrumen, dalam hal ini adalah perusahaan multinasional (MNC) yang saat ini telah berhasil menguasai dunia dan meraih pengaruh atas berbagai urusan internasional .
Munculnya ketergantungan baru dalam pembangunan negara sedang berkembang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah penanam modal asing yang berinvestasi di negara sedang berkembang, serta semakin meningkatnya bantuan luar negeri yang berupa hutang yang diberikan oleh negara maju kepada negara sedang berkembang. Oleh sebab itu, 2 hal yang meliputi penanaman modal asing dan hutang pada akhirnya menimbulkan ketergantungan yang semakin besar terhadap negara maju.
Hal lain lagi yang menjadi contoh agenda pembangunan yang beroreintasi terhadap ekonomi adalah Dengan ditetapkannya Millennium Development Goals sebagai program pembangunan baru di negara sedang berkembang sesungguhnya tujuan dibalik itu semua adalah untuk menciptakan suatu pola ketergantungan baru dalam pembangunan di negara sedang berkembang yang diantaranya adalah untuk memuluskan masuknya korporasi-korporasi multinasional melalui delapan tujuan MDGs serta untuk membuat hutang di negara sedang berkembang semakin membengkak. Selain itu secara tidak langsung MDGs merupakan program untuk memudahkan perusahaan-perusahaan multinasional dalam melakukan eksploitasi pembangunan di negara sedang berkembang. Kekayaan alam yang biasanya banyak dimiliki oleh negara sedang berkembang telah dieksploitasi oleh pelaku bisnis, dalam hal ini perusahaan multinasional. Misalnya Indonesia yang kaya akan minyak dan gas bumi saat ini cadangan migasnya semakin berkurang. Ladang-ladang baru terus dibuka dan di tenderkan pada perusahaan asing yang terus menerus menggerogoti sumber daya alam yang seharusnya dinikmati oleh rakyat .
Dengan dua analisa diatas setidaknya memberikan gamabaran atas tragedi yang berlanjut dari konsep pembangunan yang selama ini dikultuskan di beberapa negara dengan berbagai macam model dan kamufalsenya telah mampu merubah cara hidup yang destruktif khusunya dalam permasalahan lingkungan saat ini.

Kamis, 25 Maret 2010

prespektif

Kasus Separatisme :
“Organisasi Papua Merdekda Dalam Prespektif English School”
PAPUA merupakan salah satu daerah propinsi di Indonesia, yang dilandasai dengan perjanjian Linggarjati, Renvile, serta pengakuan dunia internasional pada persetujuan New York yang mengukuhkan hasil PEPERA pada tahun 1969 dan bukti Colonial yang dilandaskan pada Papua merupakan daerah colonial Belanda sehingga semua tanah jajahan belanda menjadi bagian NKRI.
Persoalan Papua menjadi berkembang setelah berdirinya organisasi Papua merdeka yang menghendaki pemisahan daerah Papua dari NKRI. Gerarakan OPM telah meresahkan kehidupan di PAPUA, selain itu juga OPM kerap menjadi dalang atas konflik senjata yang terjadi di Papua. pada tahun 1971 organisasi Papua merdeka memproklamasikan kemerdekaan “Republic of west Papua”. Dan hal ini tentunya menjadi perhatian dunia internasional.
Potensi dan kekayaan Papua menjadi alasan mereka yang untuk memisahkan diri, pemerataan pembangunan yang tidak sampai ke daerah mereka serta marginalisasi yang terjadi di sebagian pendudukan Papua terhadap warga negara non Papua yang makin memperuncing terjadi gerakan-gerakan separatism.
Kasus separatism Papua oleh gerakan OPM secara historical berujung dari beberapa faktor yang mendorong gerakan ini tumbuh dan berkembang dan menjadi sebuah rasionalitas yang dapat dijadikan nilai-nilai yang patut untuk diperjuangakan.
Beberapa faktor dapat kita lihat sebagai dasar separatism ini sendiri, diantaranya:
Pertama, Munculnya islamisasi yang merupakan pemaksaan kehendak terhadap keyakinan yang mereka anut, menjadi kaum minoritas di wilayah kesatuan NKRI menjadi salah satu menjadi isu yang makin memperuncing terjadinya gerakan pemisahan. Hal ini dijadikan rasionalitas dikarenakan begitu banyaknya orang-orang jawa yang nota benenya hampir muslim, yang masuk ke Papua atas program pemerataan penduduk oleh pemerintah, hal ini juga sering mengakibatkan konflik horizontal. Secara umum kemudian berdapak pada displacement warga papua terhadap warga pendatang.
Kedua, Pembangunan yang ada di Papua jauh tertinggal dengan di daerah lain, bertolak belakang dengan kekayaan yang dimiliki oleh Papua itu sendiri, infrastuktur kesehatan, pendidikan dan fasilitas umum lainnya jauh tertinggal dengan daerah lainnya. Laporan BPS (2006) menyebutkan bahwa penduduk miskin di Papua sebesar 47,99%, Jadi kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk Provinsi Papua yang hanya berkisar 2,4 Juta jiwa, maka bisa dikatakan bahwa hampir setengah dari penduduk Provinsi Papua, masih dalam kategori miskin. Belum lagi dengan laporan pembagunan manusia Indonesia (2004) yang menyebutkan bahwa provinsi Papua merupakan provinsi termiskin tertinggi di Indoensia di mana 41,8% penduduk Papua berpenghasilan kurang dari 1 Dollar AS per hari.
Yang Ketiga, adalah marginalisasi ras yang tidak dapat “dihindarkan” dalam pergaulan antar bangsa, marginalisasi ini dikarenakan munculnya wacana bangsa Indonesia adalah bangsa melayu dan Papua sendiri bukan bangsa melayu melainkan bangsa Melanesia. Sehingga tindakan rasisme kerap memicu kecemburuan dan konflik yang terjadi di wilayah Papua dan daerah lainnya di Indonesia. Haruslah dicatat bahwa orang-orang asli Papua berbeda secara linguistik dan secara rasial dengan mayoritas orang-orang Indonesia. Orang-Orang Papua dipercaya berasal dari Afrika sementara Mayoritas Orang Indonesia adalah Orang Jawa. Studi-studi seperti ditunjukkan diatas menguatkan indikasi bahwa Indonesia sedang melakukan genosida terhadap Orang Papua Barat melalui penindasan dan tindakan-tindakan kekerasan, dan tindakan genosida ini didasarkan pada Pandangan Rasisme. Dalam konteks politik Papua juga termarginalkan dengan minoritas suara sehingga menjadi lemah dalam konteks Pemilu dan Pilkada.
Suatu studi terbaru oleh Klinik HAM Lowenstein Universitas Yale menyebutkan :"Bukti Historis dan Kontemporer betul-betul menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan terlarang dengan tujuan untuk menghancurkan Orang-Orang Papua Barat, seperti halnya pelanggaran terhadap Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan Genosida (Pemusnahan Etnis) dan Larangan-Larangan Hukum Internasional.
Fakta sejarah yang telah menjadi warga Papua menjadi warga kelas 2 yang diindentikan dengan kebodohan, kemiskinan iniliah dasar bagi mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri sehinga tidak lagi harus berada pada wilayah yang tidak sejalan dengan niali-nilai mereka.

Analisa Kasus Papua Merdeka Berdasarkan Teori English School
Permasalahan Papua ini menjadi permasalahan serius bagi ketahanan kedaulatan Indonesia, namun pada pemikiran yang lebih luas tentunya kita harus melihat hal ini scara holistic, dengan rasionalitas yang cukup dalam rangka mendalami apakah kasus separatism Papua ini menjadi tindakan illegal atau legal? Dalam hal ini penulis mencoba untuk memberikan analisa hal tersebut dengan kerangka prespektif English School.
Point dasar dari teori ini untuk membedah kasus separatism adalah norma atau value yang tidak diciptakan secara universal atau norma yang diterima oleh semua kelompok dalam hal ini misalnya norma yang diciptakan oleh regime atau negara. Kita mengenal separatism dalam norma internasional tentunya tidak diperbolehkan karena merusak dan melanggar integaritas suatu bangsa dan termasuk tindakan pidana berat. Norma-norma seperti inilah yang dalam pemikir English school ditolak karena tidak mengandung nilai-nilai keadilan itu sendiri bagi suatu kelompok yang berbeda norma dan value yang mereka yakini.
Cukup menarik melihat kasus-kasus separatism dalam kerangka berfikir English School. Di satu sisi nilai-nilai secara universal dalam piagam PBB telah mengisyaratkan gerakan separatism ditolak dan siapapun yang membantu baik negara maupun kelompok termasuk tindakan pidana, sehingga untuk mengungkap kasus separatism ini teori Engslish School akan memberikan pandangan yang lebih luas dan jauh berbeda dengan konsep norm, atau value dalam tataran kelompok bukan pada dataran negara atau norma secara universal yang diyakini oleh setiap negara.
Hak-hak sipil dan politik suatu kelompok harus dihormati dan diakui tentunya dengan rasionalisasi yang diyakini kebenarannya secara factual, ini mengindikasikan gerakan separatism secara logika dapat diterima dalam pandangan English School yang mengisyaratkan penghargaan atas hak-hak sipil setiap kelompok dengan konsep dasar yang diyakini yaitu order dan justice.
Ketertiban ataupun ketertiban yang tumbuh di Papua bisa saja dikatakan berjalan dengan stabilitas pemerintahan yang cukup baik, berjalannya kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi lebih jauh apakah itu menjadi sebuah keadilan bagi mereka yang ada di Papua di bandingkan dengan daerah lainnya, tindakan ketertiban hanya dilakukan dengan tindakan represif, dan juga pemerataan pembangunan yang kurang tersentuh di wilayah mereka.
Masyarakat internasional meyakini kedua hal tersebut akan tercapai dengan penghormatan hak-hak azazi yang telah diterangkan diatas dengan melihat aktor dan rasionalitas dari suatu kelompok. Terbukti dengan rasionalitas kasus separatism di Papua telah mendorong terciptanya ketidakadilan dalam konteks kehidupan bernegara dan berbangsa. Hal inilah yang menjadi benang merah hak-hak sipil dan azasi warga Papua terhempas dan tertindas selama ini.
Telah di sebutkan diatas bahwa dalam teori The English School terbagi atas dua kaum. Kaum Pluralis dan kaum solidaris. Kaum pluralis yang sangat mengutamakan pada order atau ketertiban tentu saja menentang adanya tindakan pemisahan diri seperti yang dilakukan oleh Papua atas Indonesia. Papua sesungguhnya tidak berhak memerdekakan diri atas NKRI. Bahkan NKRI melakukan tindakan yang benar-benar menyita perhatian demi mempertahankan kedaulatannya atas Papua mengeluarkan Undang-undang otonomi khusus yang dalam pemerintahan Megawati yang dikenal kemudian dengan pembentukan Dewan Adat Papua yang berfungsi sebagai legislator pemerintahan Papua. Mereka berpendapat bahwa dengan gerakan Papua memerdekakan diri maka itu akan merusak stabilitas keamanan dalam negeri Indonesia, merusak order atau ketertiban negara tersebut. Indonesia menginginkan Papua tetap berada dalam kedaulatan wilayahnya dengan argumentasi historis dan keinginan mempertahankan negara kesatuan. Indonesia menegaskan bahwa PBB mengukuhkan PEPERA pada atahu 1969.
Dalam ketentuan nasional juga telah diatur jelas mengenai tindakan separatism yang Juga ditegaskan dalam berbagai perjanjian mengenai irian barat/ Papua yang mengisyaratkan Papua sebagai wilayah NKRI yang merupakan bekas jajahan belanda. Gerakan separatism juga tentunya akan mendorong distabilisasi politik dan pemerintahan yang ada di Papua dan di dindonesia, tentunya kemampanan atau ketertiban akan tergangagu, dengan demikian pada akhirnya juga akan menghambat proses pembangunan di Papua itu sendiri. Selain itu juga konteks Papua dinilai sebagai sebuah bentuk tindakan yang illegal dari rasionalitas yang tidak cukup kuat, konteks faktor pendorong yang diwacanakan selama ini tidak mendasar dalamkonteks kehidupan bernegara, seperti; dalam perjuangan perjuangan melawan penjajah atau dalam membentuk NKRI tidak tercantum asas kesamaan ras, agama dsb. Kedangkalan rasional inilah menjadi mendasarkan bahwa dalam pemikir pluralis tindakan separatisme Papua sangatlah dangkal.
Sedangkan jika kita melihat dari sudut pandang kaum solidaris yang menganggap bahwa ketertiban saja tidak cukup namun masih perlu keadilan global tentu saja mendukung kemerdekaan Papua atas Indonesia. Kaum ini mengutamakan tentang Human Right. Dimana dalam kasus Papua dengan berbagai kondisi historis yang telah dipaparkan diatas, maka dengan azas hak azazi dan juga terjadinya benturan nilai inilah menjadikan gerakan separatisme Papua merdeka menjadi sebuah gerakan yang legal dalam kacamata English School. Masyarakat internasional yang dibahas dalam teori ini mengindikasikan bahwa nilai-nilai dalam suatu kelompok harus dihormati untuk mencapai ketertiban dan keadilan yang dimaksudkan.
Nilai-nilai keadilan yang dikonsepsikan oleh masyarakat Papua selama ini tidak tercapai dengan kondisi Papua sekarang ini, yang telah dijelaskan dalam kasus diatas. Tentunya ketertiban saja tidak cukup tetapi keadilan juga harus sejalan sehingga pada akhirnya berangkat dari penghormatan hak-hak azasi dalam berkehidupan tentunya nilai-nilai order dan justice hanya akan dapat dipenuhi dan dipahami oleh masayarakat Papua itu sendiri. dalam konstitusi juga telah diatur dan disebutkan dalam UUD 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak suatu bangsa, maka penajajahn diatas dunia harus diahpuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan pri keadian, konteks keadilan menjadi perhatian utama teori English school sebagai langkah legalitas dalam mencapai masyarakat international, selain itu juga terdapat deklarasi majelis PBB dalam “declaration on The Granting Of independence to colonial countries and people, deklarasi ini mengindikasikan bahwa daerah yang belum “merdeka” berhak mendapatkan dan menentukan pemerintahan sendiri, ditambahkan pula dalam kerangka legal kasus Papua ini adalah Internastional Convenants Of Human Rights, yang ingin mewujudkan perluasan hak-hak ekonomi, soaial dan budaya yang berarti kemerdekaan Papua tidak menjadi bentuk pelanggaran atau tindakan ilegal.
Dalam kajian lebih jauh tentang separatism dalam konsep English school adalah sebuah langkah yang positif dan legal dalam konsepsi mengenai masyarakat internasional, kita menyetujui konsepsi English School yang mempercayai bahwa masyarakat internasional dapat terwujud dalam dunia yang anarki ketika norma dan value dipahami oleh suatu kelompok tertentu, atau landasan value dan norm yang tidak bersifat universal melainkan lebih kepada tataran society atau masyarakat tertentu. Keadaan dan fakta yang terjadi saat ini di Papua dibenarkan oleh banyak data, ketimpangan, kemiskinan serta ketertinggalan pembangunan, ini mengisyaratkan selama ini nilai-nilai yang tidak dapat dipahami oeh negara Indonesia sehingga ketidakadilan terus berlangsung, maka dari itu tentunya nilai-nilai inilah yang diperjuangankan dalam rangka mewujudkan konsepsi tentang msayarakat internasional dengan keteraturan dan keadilan berjalan seimbang.
Rasionalitas separatism Papua ini dapat dilihat sebagai bentuk perjuangan dalam mencapai tatanan masyarakat internasional yang lebih luas, dalam hal ini dipertegas oleh Bull , perjuangan untuk memperoleh kesamaan status sebagai negara berdaulat, revolusi ekonomi untuk menentang berbagai bentuk ketidakmerataan serta eksploitasi akibat sistem perdagangan dan keuangan global yang didominasi Barat. Sekalipun revolusi ekonomi ini juga terkait dengan revolusi politik, perjuangan untuk mencapai keadilan ekonomi tetap berlangsung setelah masyarakat-masyarakat koloni mencapai kemerdekaan, serta perjuanan kultural, yakni penolakan terhadap bentuk-bentuk imperialisme kultural. Upaya-upaya universalisasi konsepsi hak azasi manusia yang didasarkan pada individualime liberal.
Dalam penjelasan lain mengenai rasionalitas gerakan separatism Papua muncul cukup kuat apabila kita mencoba menelaah “Clash of Civilization” (Samuel.P Hutington) yang berbicara jauh bahwa sumber konflik yang akan terus terjadi jika budaya, ras dan agama, hal yang mendasar yang dimiliki suatu kelompok telah mengalami benturan dengan kelompok lain. Kasus ini serupa dengan apa yang terjadi di Papua sekarang ini, banyaknya tekanan dan deskriminasi yang selama ini berlangsung tentunya akan terus berakhir dengan konflik. Maka dari itu rasionalitas separatism Papua dalam prespektif English School merupakan suatu yang legal untuk terciptanya tatanan ketertiban dan keadilan. Inilah yang mewujudkan berlangsungnya masyarakat internasional yang berjalan dengan damai dengan penghormatan atas hak-hak yang diyakini dalam suatu masayarakat.
Kemudian bagiamana menanggapi solusi berupa Otonomi Khusus (Otsus) yang ditawarakan, dalam prakteknya otsus tidak menjadikan Papua memperoleh keadilannya, dan bahkan makin terpuruk, data menunjukkan, Undang-Undang Otonomi Khusus, tidak optimalnya birokrasi, ”pembiaran” pengungkapan kasus-kasus dugaan korupsi di Papua, jebakan nikmatnya euforia banjirnya dana, Pengunaan dana Otsus yang sebesar 10 triliun rupiah (2002-2006) lebih banyak terserap pada level birokrasi yakni sebesar 95% dan hanya sebesar 5% terserap untuk masyarakat kampung. Kalaupun ada perubahan tersebut hanya sebatas perubahan simbol. Artinya solusi yang ditawarkan selama ini tidak akan optimal, dikarenakan pada prinsipnya kemerdekaan itu masih terbelenggu dalam konstitusi NKRI.
Pada akhirnya prespektif English School memberikan konteks kehidupan yang jauh lebih lebih dari apa yang diprediksikan Samuel P. Hutington, benturan dengan hal yang paling mendasar harus dihormati, dengan menumbuhkan konsepsi order dan justice yang selama ini masih terbelenggu dengan ralativisme. Konteks separatism pun menjadi kerangka yang legal dalam pandangan prespektif ini, rasionalitas menjadi hal entri point dalam kasus separatism Papua. Dobrakan untuk mengatakan separatism adalah bentuk kejahatan sebagai bentuk universalisasi oleh barat yang belum tentu menjadi pemebenaran selamanya.


Daftar Pustaka.
Linklater, Andrew.2005 Third Edition. Theories of International Relations. Plagrave macmillan.
Sihombing, Magasi.2005. Aspek Hukum Keberadaan Irian atau Papua Dalam Republik Indoensia. Deplu.Jakarta.
Sterling Jennifer-Folker. 2005. Making Sense Of International Relations Theory. Lynne Reinner. USA

ANALISA STRATEGI ALTERNATIF DALAM PENYELESAIAN MASALAH KEAMANAN PERBATASAN DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Isu keamanan internasional dewasa ini terlihat makin kompleks, walaupun pergeseran subjek Hubungan Internasional mulai beralih terhadap isu-isu non militer. Salah satu isu yang cukup menarik dalam konteks keamanan internasional adalah Masalah perbatasan suatu negara, isu perbatasan menjadi masalah serius bagi negara-negara berkembang, khusunya dihadapi oleh negara-negara kepulaun, hal ini terkait selain dikarenakan belum jelasnya batas antar negara yang belum disepakati, tetapi lebih jauh lagi dikarenakan adanya weakness atau kelemahan dari salah satu pihak sehingga memberikan peluang bagi suatu pihak untuk bertindak melakukan pelanggaran perbatasan tersebut artinya suatu negara dengan sistem kontrol yang lemah membuka peluang bagi negara untuk dapat melanggar kesepakatan terhadap batas-batas negara. Konflik perbatasan menjadi sangat kompleks karena selain melanggar kedaulatan suatu negara juga, sangat merugikan dengan motif-motif pelanggaran perbatasan itu sendiri, baik motif ekonomi, social dan politik, hal ini tentunya memberikan embrio konflik yang pada akhirnya berakhir pada tindakan konfrontatif atau perang.
Isu perbatasan yang menjadi sumber konflik pada dewasa ini dalam suatu kawasan dapat kita lihat di kawasan Asia Tenggara, dalam tulisan ini, penulis mencoba mendatangkan kasus di Indonesia, sebagai negara yang berdaulat dengan memiliki wilayah yang sangat luas, Indonesia setidaknya memiliki 10 ancaman perbatasan yang sangat merugikan Indonesia, diataranya Indonesia dengan Singapura tehadap penambangan pasir iliegal, kemudian Malaysia dengan batas negara di Selat Malaka dan juga di Kalimantan Barat, serta Indonesia dengan Australia mengenai zone ekslusif ekonomi (ZEE) dan banyak lagi ancaman perbatasan yang kemudian menjadi masalah karena “rawan”terhadap konflik diantara negara dalam satu kawasan.
Dengan kondisi yang mengisyaratkan rawannya daerah perbatasan disini penulis memberikan pandangan pendekatan mengenai hal tersebut untuk memberikan alternatif khusunya dalam rangka membendung terjadinya konfik perbatasan. Penulis mencoba menelaah isu diatas dengan Pendekatan tradisional, berakar dari mazhab Realisme dalam Ilmu Hubungan Internasional dan menyatakan bahwa konsep keamanan merupakan sebuah kondisi yang terbebas dari ancaman militer atau kemampuan suatu negara untuk melindungi negara bangsanya dari serangan militer yang berasal dari lingkungan eksternal (the absence of a military threat or with the protection of the nation from external overthrow or attack) , sehingga sektor analisis yang harus disoroti adalah kapabilitas militer suatu negara untuk mempertahankan diri. Kapabilitas dalam hal ini penulis memberikan sub analisis terhadap “alat utama sistem persenjataan” (ALUTSISTA) suatu negara sehingga memberikan potensi penekanan terhadap tindakan pelangaran batas yuridis dikarenakan sistem senjata yang cukup memadai, di Indonesia setidaknya ALUTSISTA yang dimaksudkan adalah pada dataran yang menyangkut efisiensi, baik terhadap anggaran dan juga sistem persenjataan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan terhadap ancaman yang nantinya akan dihadapi. Sub analisis yang kedua adalah terhadap konsep profesionalisme militer , oleh prof. Yahya A. Muhaimin. Dengan mengembalikkan fungsi militer dengan tidak boleh disibukkan dengan urusan-urusan non mliliter seperti, ekonomi, social, dan politik seperti yang terjadi pada masa orde baru sehingga menjadi tanggungan orang sipil dan bukan militer.
Dengan pendekatan tradisional terhadap 2 sub analisis ALUTSISTA dan Profesionalisme Militer, akan menjadikan deeskalasi konflik perbatasan yang kerap menjadi masalah dikarenakan control dari salah satu belum dimaksimalkan. Alternatif yang dimaksudkan penulis adalah dengan memberikan peningkatan control suatu negara dalam hal ini militer suatu negara sehingga rangsanan untuk melakukan tindakan pelanggaran dapat diminimalisir.

MASALAH PERBATASAN INDONESIA
Permasalahan perbatasan merupakan hal penting yang dihadapi oleh negara berkembang yang berbentuk kepulauan, konflik perbatasan yang terjadi selama ini selain diakibatkan oleh lemahnya kesadaran kedua belah negara terhadap batas-batas territorialnya, juga lebih luas lagi disebabkan karena lemahnya control yang dilakukan oleh masing-masing negara. sehingga jika melihat dari prespektif realism keadaan ini merupakan akumulasi dari deterrence yang tidak dimiliki suatu bangsa sehingga tidak mampu untuk meredam terjadinya masalah perbatasan.
Dalam paper, kami menadatangkan kasus pelanggaran perbatasan yang dihadapi oleh Indonesia dengan negara tetangga. NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia) adalah negara kepulauan yang memiliki wilayah yang sangat luas, dengan wilayah lautan sekitar 75% dari seluruh wilayah Indonesia, selain itu juga indonesia memiliki keunggulan komparatif dari segi geografi, dalam hal lalu lintas laut negara di dunia. Namun dengan letak yang cukup strategis Indonesia memiliki ancaman perbatsasn yang cukup tinggi, dengan perbatasan laut dan darat yang cukup luas. Kasus perbatasan di Indonesia sering memicu disharmonisasi hubungan kedua belah pihak, bentuk-bentuk pelangaran yang terjadi sangat kompleks, mulai dari illegal fishing, Ilegal mining, dan trading diantaranya berupa penambangan pasir, penebangan kayu, dsb.
Data menunjukkan bahwa penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut Indonesia terus meningkat, dengan total kerugian yang dialami Indonesia sekitar US$ 2 milyar, atau sekitar Rp. 18 Trilyun per tahun. Dari kegiatan penyelundupan, Indonesia mengalami kerugian sekitar US$ 1milyar pertahun. Ekspoitasi pasir secara ilegal merugikan Indonesia lebih dari Rp. 2 Trilyun setiap tahun . Sementara kegiatan pencurian kayu (ilegal logging) merugikan negara sekitar Rp. 30 Trilyun. Kondisi yang memprihatinkan tersebut menuntut upaya sistematis bangsa dan pemerintah untuk menyelamatkan perairan Indonesia, maupun meningkatkan kemampuan sumber daya untuk memanfaatkan laut Indonesia.
Posisi strategis Indonesia sebagai salah satu poros lalu lintas dunia internasional, menempatkan Indonesia rawan terhadap berbagai ancaman keamanan udara. Isu keamanan udara dengan potensi ancaman di masa mendatang meliputi ancaman kekerasan (pembajakan udara, sabotase obyek vital, terror, dsb), ancaman pelanggaran udara (penerbangan gelap dan pengintaian terhadap wilayah Indonesia), ancaman sumber daya (pemanfaatan wilayah udara oleh negara lain), dan ancaman pelanggaran hukum melalui media udara (migrasi ilegal dan penyelundupan manusia).
BENTUK-BENTUK KONFLIK PERBATASAN
Konflik perbatasan menjadi permasalahan yang tak kunjung usia dengan makin bertambahnya model dan jenis konflik yang dihadapi, bentuk konflik yang dihadapi Indonesia yang masih menjadi ancaman diantaranya:
Perbatasan Indonesia-Singapura .
Masalah yang terjadi antara indoensia dan singpura adalah Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Sinagpura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan. Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritime Indonesia dengan Singapura.
Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati ke dua negara. Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia. Permasalahan lain kedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan. Penyulundupan yang masih tinggi di daerah perbatsan Indonesia-Malaysia, Disamping itu juga masalah-masalah selat malaka, sebagai jalur perdagangan internasional, kemudian hilangnya Sipadan-Ligitan serta Ambalat dan TKI illegal adalah bentuk masalah perbatasan , tentunya dalam hal ekonomi Indonesia dirugikan.
Perbatasan Indonesia-Australia.
Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor. Celah timor menjadi sengketa yang cukup panjang dikarenakan banyaknya nelayan-nelaya Australia yang memancing di celah Timor, selain itu tingginya tingkat imigran gelap yang masuk melewati celah timor menjadikan intnsitas konflik yang cukup tinggi di celah timor.
Perbatasan Indonesia-Thailand.
Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia.
Perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada diperbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan, dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari.
Dengan data yang ditunjukkan diatas, tentunya masalah perbatasan menjadi prioritas utama pemerintah untuk memlihara integritas dan kedaulatan bangsa, masalah ini tentunya dilihat secara holistic dengan mengedepankan perangkat pertahanan yang baik untuk menjaga, dan meminilisasi konflik perbatasan yang kerap merugikan Indonesia.
Intensitas pelanggaran di wilayah perbatasan membutuhkan pengawasan dan pembangunan perangkat pertahanan yang komperhensif. Sehingga dalam hal ini penulis menginginkan wilayah perbatasan menjadi sorotan utama dalam pembangunan pertahanan di Indonesia.

STRATEGI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH PERBATASAN
Indonesia perlu mengembangkan konsep “Deterrence” atau penangkalan. Dengan adanya deterrence ini diharapakan dapat memberikan dampak psikologis terhadap negara-negara yang akan melakukan serangan militer ke Indonesia atau melakukan tindakan-tindakan lainnya sehingga mereka akan mengetahui efeknya jika mereka berani untuk melakukan pelanggaran terhadap wilayah Indonesia dan jika terjadi serangan balasan (retaliation). Salah satu langkah untuk mewujudkan deterrence tersebut yaitu dengan melakukan modernisasi atau pembangunan kekuatan militer Indonesia.
Pembaharuan ALUTSISTA (alat utama system persenjataan) harus dilakukan, tidak hanya sekedar perawatan persenjataan yang telah ada tetapi kita perlu membeli senjata dan peralatan tempur lainnya yang modern juga memiliki teknologi yang canggih untuk melindungai wilayah NKRI ini.
Kekuatan militer Indonesia terutama di bidang teknologi telah tertinggal jauh. Tetapi jika kita telah memiliki semua peralatan tersebut, kita jangan sampai lupa untuk menjaga atau merawatna sehingga jika sewaktu-waktu dibutuhkan semua peralatan tersebut dapat digunakan dengan lancar. Indonesia terkadang terlalu sering membangun tetapi lupa untuk menjaga atau merawatnya, hal ini diperkuat dengan data alutisista yang hampir 40% yang ada tidak dapat dioperasikan .
Modrenisasi perangkat ALUTSISTA (alat utama sistem persenjataan) dari ketiga Angakata bersenjata (Angkatan Darat(AD), Angkatan Udara(AU) dan Angkatan Laut(AL)) mutlak dibutukan. Keterpurukan yang teradi selama ini dalam menghadapi permasalahan perbatasan, point pentingnya adalah peningkatan, pengadaan serta pembaharuan ALUTSISTA Indonesia yang seharusnya menjadi paling utama. Hal yang sangat berlebihan ketika meminta TNI untuk bekerja optimal tanpa didukung oleh persenjataan yang memadai, pengadaan ALUTSISTA selama ini hanya diberikan 32% dari anggaran departemen pertahanan, sangat kecil untuk pengadaan ALUTSISTA yang memadai khususnya dalam bidang AU dan AL yang secara domestik Indonesia belum memiliki kapasitas untuk mencapai teknologi dalam hal itu atau kemandirian dalam memproduksi ALUTSISTA AU, AL. ketimpangan ini dapat dilihat dari pengadaan ALUTSISTA antara AD, AU dan AL. AD memiliki kendaran tempur 934 unit, ranmor 59.842 sedangkan untuk AL, hanya memilki 126 uit, dan KAL hanya 76 unit sedangkan AU lebih parah lagi hanya memiliki 66 unit dan hanya 48 % yang layak untuk diterbangkan, artinya dalam data diatas menunjukkan adanya porsi anggaran yang lebih besar pada AD sehingga dinilai kurang tepat dalam menilai konflik perbatasan.
Ralisasi negara terhadap pertahanan sangat tidak relevan ini dikarenakan belum munculnya kesadaran yang tinggi untuk membendung ancaman perbatasan yang selama ini tidak pernah hilang dari wilayah indoensia, Keterbatasan anggaran selama ini menjadi alasan TNI untuk menjadikan konflik perbatasan sebagai hal yang cukup sulit untuk di tekan atau di selesaikan, namun dalam pendekat ini kami melihat bahwa angaran yang selama ini cukup besar dengan penigkatan dari tahun ke tahun, sehingga yang patut untuk menjadi sorotan adalah, selain peningkatan anggaran juga diperlukan peningkatan kebijakan yang strategis yang mampu untuk mengatasi ancaman perbatasan yang selama ini membelenggu pemikiran Departemen Pertahanan Indonesia yang kurang concern dalam bidang penigkatan strategi pertahanan yang baik yang sesuai dengan kondisi geografis indoensia.
Selanjutnya adalah kesiapan dan persenjataan ALUTSISTA dengan Efisiensi Anggaran dengan mendahulukan pengadaan dalam senjata untuk AU dan AL sebagai garda depan pertahanan negara.

PEMBANGUNAN ALUTSISTA (ALAT UTAMA SISTEM PERSENJATAAN)

- Postur Paningkatan Persenjataan Sesuai Dengan Kondisi Geografis
Dengan kondisi geograsi yang selama ini hanya bertumpu pada matra angakatan darat, diubah menjadi matra angkatan laut dan udara, hal ini bertumpu pada hampir 75% wilayah Indonesia adalah perairan, hal ini menjadi sangat rasional dikarenakan indicator konflik perbatasan terjadi di perairan atau di wilayah kelautan dan udara, ini memudahkan juga untuk menghentikan atau preventif tindakan-tindakan kejahatan, sehingga secara pendek kita mengatakan bahwa konflik yang selama ini terjadi dikarenakan postur TNI selama ini hanya pada dataran “historical” seperti perjuangan melawan penjajah yang hanya berlangsung di darat saja, tentunya kesalahan ini menjadi titik bahwa perjuangan yang selama ini hanya berlangsung di darat, hal ini diperkuat dengan data-data telah disebutkan diatas.
Aspek yang selama ini menjadi prioritas TNI adalah pulau-pulau besar yang bedasrkan pada matra angkatan darat, hal ini sangat ironis dan kprespektif yang keliru baik dalam persepsi ancaman dan bentuk geografis, Postur TNI sebagai aparatur menjaga ketahanan kedaulatan negara, kekuatan personil TNI harus proporsional sesuai dengan kebutuhan, contoh ketimpangan yang terjadi adalah kekuatan personil yang ada dengan kondisi geografis indonesi yang luas adalah sekitar, 376.000 dengan 288.000 AD, dan 59.000 AL, dan 28.000 AU.
- Postur Peningkatan Sesuai Dengan Efisiensi Anggaran Pertahanan Dan Ancaman
Selain itu itu juga aspek kekuatan yang harusnya dibangun adalah menyangkut ancaman ataupun pendekatan berdasarkan kemampuan, sehingga harus ada kombinasi dari kondisi ancaman dan besarnya anggaran dengan ketepatan pembelian ALUTSISTA.
Bentuk Ancaman.
Untuk mendukung peningkatan ALUTISTA tentuny kita haru smelihat bentuk acman yang diahadapi, pertama Ancaman Militer, ancaman yang menggunakan kekuatan persenjataan, yang membahayakan kedaulatan negara, seseprti, keutuhan wilayah negara, berupa agresi, pemberontakan bersenjata, spionase, dan agresi. Yang menjadi menarik tentunya bentuk spionase, di abad modern dilakukan oleh agen-agen rahasia denga mencari danmendaptkan rahasi-rahasi negara sehingga dapat memberikan efek yang cukup penting dalam hal memposisikan diri dalam suatu konflik. Kedua, Ancaman Non Militer, Berdimenasi ekonomi, ekonomi menjadi sebuah ancaman yang nyata, hal ini dikarenakan tingkat ekonomi suatu negara akan mentukan posisi suatu negara dalam berhubungan di dunia internasional. Ketiga, Ancaman Potensi Ancaman Baru, Kejahatan lintas batas negara, seperti, pembajakan, penyelundupan manusia, senjata, dan amunisi, serta perdgangan obat-obatan terlarang, menigktanya ancaman ini dikarenkan stabilitas kawasan tidak cukup kuat untuk membendung terjadinya kajahatan lintas negara ini.
Ancaman diatas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi diarenakan nihilitas ALUTSISTA indonesia dalam bidang tindakan preventif, seperti keadaan radar yang sudah usang, kapal patroli AL yang masih kurang, serta kapal tempur yang perlu untuk dipersenjatai. Artinya Bentuk ancaman ini akan mengarahkan kebijakan pertahanan dalam jangka panjang, bukan dalam sebagai pertahanan periodic, atau accindental, sehingga orientasi yang didapatkan lebih jelas dengan system persenjataan yang lebih baik.
Namun yang mejadi rasionalisasi atas keadaan ALUTSISTA selama ini adalah anggaran yang kurang, sehingga dalam hal ini lebih baik untuk melakukan efisiensi, efisiensi anggaran menjadi pilihan utama untuk meningkatkan kinerja pertahanan dikarenkan desakan konflik yang harus segara diatasi, sedangkan angggara pertahanan hanya memiliki kenaikan 1% tiap tahunnya.
Efisiensi tentunya dilakukan dengan berbagai alternatif Pertama dengan memberikan alokasi anggaran yang tepat. Program pengembangan pertahanan matra darat yang selama ini memiliki porsi yang lebih banyak dari AL dan AU. Sehingga pengurangan anggaran AD tentunya dialokasikan untuk kelengkapan matara AL dan AU untuk menjaga perairan Indonesia. Berbagai tindak pidana seperti illegal fishing dan illegal logging menggunakan jalur laut sulit untuk diatasi oleh TNI AL yang terbatas perlengkapannya dan Terutama dengan menambah jumlah anggaran untuk TNI AL. Dengan memperkuat TNI AL, pendapatan pemerintah akan meningkat dari penekanan angka penyelundupan dan kejahatan yang telah disebutkan diatas. penguatan TNI AL sesuai dengan strategi pertahanan negara kepulauan seperti Indonesia. Dengan kondisi geografis berupa kepulauan, sistem pertahanan berlapis mulai dari laut lebih sesuai untuk Indonesia (Widjajanto, 2002). Ditambahkan pula bahwa sejarah mencatat kekuatan maritim suatu negara akan mampu menguasai dunia , ini mengindikasikan bahwa persenjataan di Laut mutlak dibutuhkan dalam konteks negara keplauan. Strategi efisiensi Kedua dapat dilakukan dengan memperjelas peran antara pertahanan dan keamanan. Selama ini pertahanan dimengerti sebagai strategi penangkal ancaman eksternal. Istilah pertahanan tentunya menjadi porsi yang harus menjdi perhatian artinya ancaman dari luar memiliki porsi yang harus dilebihkan untuk mengantisipasi ancaman yang lebih beragam dari dunia luar. Efisiensi Ketiga dilakukan dengan melakukan konsolidasi seluruh anggaran TNI. Dengan Potensi daerah yang memiliki “kekayaan” yang besar tentunya dapat didorong untuk memberikan sumbangsih terhadap peningkatan persenjataan nasional. Strategi efisiensi anggaran keempat dapat dilakukan dengan memangkas birokrasi untuk memperkecil peluang kebocoran anggaran dan mengurangi biaya yang tidak diperlukan. Efisiensi ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi yang akan diuraikan secara mendalam berikut ini.
Efisiensi adalah jalan terkahir yang penulis tawarkan dalam rangaka reorientasi ALUTSISTA Indonesia dalam rangka mengatasi permasalahan keamanan di wilayah perbatasan, efisiensi tentunya akan optimal jika strategi dan arah kebijakan pertahanan berada pada track yang lurus untuk melihat persepsi ancaman serta kondisi geografis Indonesia secara holistik.

KESIMPULAN.
Keamanan perbatasan wilayah Indonesia selama ini mengalami disorietasi, hal ini dibuktikan dengan begitu besarnya permasalahan perbatasan yang terjadi, kesalahan kebijakan pertahanan selama ini lebih mengedepankan tindakan perlawanan bukan pada dataran pencegahan terlebih lagi dalam bentuk Angkatan Darat, serta sentraliasasi pertahanan yaki pulau Jawa, sehingga konflik muncul terlebih dahulu baru terjadi tindakan, hal ini tentnya tidak relevan lagi di era globalisasi. Penegakan kedaulatan wilayah khusunya di bidang perairan atau laut perlu adanya pertahanan negara dan penangkalan gangguan, menyiapkan kekuatan untuk persiapan perang, menangkal setiap ancaman militer, untuk melindungi dan menjaga batas-batas wilayah perairan, serta menjaga keamanan nasional.
Reorientasi kebijakan pertahanan seharusnya mengarah kepada karakteristik negara Indoensia yang berbentuk kepulauan, dan negara maritime yang luas, sehingga arah kebijakan tentunya dengan melakukan tindakan preventi atau “deterrence” artinya dengan mengantisipasi bentuk ancaman dengan peningkatan system persenjataan, hal ini menjadi penting dalam menciptakan deterrence, tentunya dengan persepsi ancaman dan efisiensi Anggaran dalam rangka penigkatan penigkatan ALUTSISTA jangka panjang, bukan periodic atau accidental.

DAFTAR PUSTAKA
Buzan, Barry. 1987. An Introduction to Strategic Studies: Military Technology and International Realtions. London: MacMilla Press
Effendy, Muhadjir. Profesionalisme Militer, Profesionalisasi TNI. Malang : UMM Press, 2008.
Harsono, Timotius D. “Economic Defense, dan Arah Kebijakan Pembangunan TNI”Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta
Muhaimin.A Yahya. Bambu Runcing Dan Mesiu, Masalah Kebijkan Pembinaan Pertahan Indonesia. Tiara Wacana.2008
Rahakundini, Connie. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007
Suryo, Sayidiman H. Si Vis Pacem Para Bellum.Jakarta : Gramedia. 2005

May..refleksi keindahan wanita

May….
terlalu banyak kebenaran yang disederhanakan dengan bahasa, karena mulut sangat sukat untuk mengucapkan kebenaran itu…termasuk untuk melukiskan kecantikan dan keindahan pesona mu May.. aku tidak pernah mengetahui kapan akhir semua penantian ini may….
Malam 23, dan jam ke 23 mungkin tak akan pernah terlupakan dalam catatan nurani hidupku,,jari ini berhenti sejenak mendalami maksud…terlintas pribadi yang sempurna...kata-kata terkahirmu menjadi cambuk telalu hina diriku menemanimu….
Kamu adalah wanita misterius yang tak pernah aku kenal dari wanita lainnya…
Tak terlalu tinggi cita-cita hidup ini denganmu May,,membangun rumah sederhana dialam pedesan dengan kicauan burung menyapa di pagi hari dengan segelas teh hangat menyambut serta ciumanku yang terlukis dikeningmu….
Cinta ini mungkin terlampau murah bahkan untuk diobral sekalipun mungkin tidak akan terjual…atau mungkin cintamu yang terlalu tinggi….sangat terasa dengan ciuman dan senyuman itu yang membakar darahku…jangan berikan lagi May aku mengerti betapa tingginya cinta itu….
Entah berapa banyak doa yang kupanjatkan untuk kebahagiaanmu, laksana laut yang tetap memberikan airnya untuk ikan-ikan dilaut atau langit yang tak pernah meminta sedikitpun uang sewa pada bintang-bintang yang melekat di didingnya……….
Calon pendampingku May,,,,perjalanan yang panjang ini terasa sangat hampa tanpa dirimu di sisiku,,,tak cukup laut yang indah gunung yang eksotik serta pemandangan dunia untuk menggantikanmu…..tuhan memberikanmu jalan yang terbaik untuk menjauhi ku…tapi pada saat yang sama tuhan memberikan jalan yang sama kepadaku…
Aku berharap bertemu kamu di jalan itu sekear berharap darimu untuk datang berziarah ke makam cinta ku yang terpaksa mati untuk kebahagiaanmu.
Mungkin aku bukan orang yang tidak dapat membehagiakanmu,,,tapi sebaliknya aku adalah orang yang dapat membahagiakanmu…tapi sayangnya kebahagiaan itu lebih dahulu diberikan orang lain untukmu aku tak ingin merenggut kebahagiaan itu,,, aku mungkin tak pernah memiliki dirmu seutuhnya…
Aku menginginkan pengembaraan cinta ini secepatnya usai seperti para gelandangan dan pemulung yang pulang dengan memikul hasil dipundaknya….
May…harapan yang tertinggal adalah kehidupan berikutnya yang masih dirancang tuhan,, itulah harapan yang mungkin dapat aku banggakan untuk memilikimu………..
Percayalah kepadaku,,,,
Kasih tak sampai
Jreng$