Next Bupati Lombok Tengah

Minggu, 15 November 2009

deep ecology...

Isu lingkungan dalam hubungan internasional kontemporer merupakan isu yang paling menyita perhatian dunia, hal ini tentunya terkati dengan beberapa kejadian atau bencana alam yang melanda bumi dan telah menelan banyak korban serta kerugian di beberapa wilayah di belahan bumi.
Lingkungan menjadi agenda politik internasional yang mengharuskan setiap negara untuk melaksanakan komitmen dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan. Dalam hal ini negara maju serta perusahaan multinasional menjadi sorotan utama terkait dengan kepentingan ekonomi yang ada dibalik terjadi kerusakan lingkungan. Negara maju dengan tingkat industrinya dan juga perusahaan multi nasional yang beroperasi di beberapa negara berkembang yang kerap melakukan eksploitasi sumber daya alama (SDA) dan akhirnya merugikan negara berkembang. Tentunya hal inilah yang menjadi alasan bahwa negara maju seakan-akan menjadi aktor dominan dalam setiap komitmen yang disepakati menyengkut kerusakan lingkungan.
Komitmen berupa perbaikan kualitas lingkungan telah dilakukan sejak KTT Bumi di Montreal 1992 namun dengan rentan waktu yang cukup lama belum mampu untuk mengatasi permaslahan lingkungan dan berbalik menjadikan kondisi lingkungan makin memperhatinkan. Keberadaan negara maju dan peruasahaan multinasional sebagai actor yang dominan menjadikan komitmen terlampau menjadi permainan, artinya kebijakan tentang perbaikan kualitas lingkungan dapat dikendalikan dengan kekuatan ekonomi yang mereka bawa sehingga komitmen perbaikan kualitas lingkungan dijadikan ajang untuk meraih kepentingan ekonomi negara maju dengan merusak kondisi lingkungan itu sendiri.
Hal diatas dapat kita lihat sebagai sebuah etika yang dangkal (Shallow) yang melihat bahwa kepentingan manusia diatas segalanya sehingga mahluk diluar manusia dilihat sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan manusia itu sendiri . Sehingga tanggung jawab manusia terhadap alam tidak berlaku atau merupakan hal yang tidak masuk akal, kalaupun tuntutan itu masuk akal akan dihitung sebagai pengertian tidak langsung, yaitu pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap sesama, dalam pengertian bahwa kalaupun ada tuntutan kewajiban terhadap alam itu semata-mata adalah demi memenuhi kebutuhan manusia. Dengan pandangan Shallow yang mengutamaan kepentingan manusia serta mengabaikan kepentingan mahluk lainnya menjadikan perbaikan kualitas lingkungan yang ada sekarang ini masih mengalami keterpurukan.
Dalam perkembangan hubungan internasional Shallow Ecology merupakan etika yang telah mengakar dengan kuat di negara-negara maju yang memiliki tingkat perekonomian tinggi namun mengabaikan kondisi lingkungan hidup, China dan Amerika Serikat yang menitik beratkan pada hipereconomi sehingga SDA terkuras dan permasalahan pun mulai melanda Cina dengan cuaca yang begitu panasbegitu juga dengan AS yang sering mengalami kejadian alam yang ekstirm.
Selama berlangsungnya pertemuan tentang perbaikan kualitas lingkungan etika Shallow selalu tercermin dalam setiap kebijakan yang ada, salah satu contoh bahwa KTT Bumi 1992 yang beorintasi mangatasi permasalahan lingkungan kemudian menghasilkan kebijakan yang berbalik memperburuk kualitas lingkungan dengan mengkultuskan pembangunan ekonomi dengan adanya konsep pembangunan berkelanjutan. Kemudian adanya Berlin Mandate pada konvensi perubahan iklim pertama yang ada tidak dapat menghasilkan keputusan yang ekologis, dan hanya berkutat pada persoalan siapa yang salah dan yang siapa yang benar menjadi ajang jastifikasi tidak ada sebuah rencana menyangkut permasalahan lingkungan dan pada Kyoto, Jepang telihat bagaimana dominasi negara maju sehingga mengakibatkan mekanisme yang dihasilkan pun tampak begitu dangkal dengan mengabaikan persoalan lingkungan dan kemudian mengundurkan diri serta tidak berkomitmen untuk menanggulangi permasalahan lingkungan yang ada.
Munculnya konsep pembangunan berkelanjutan yang selalu menilai perkembangan dari segi pertumbuhan ekonomi memacu setiap negara untuk meningkatkan perekonomiannya dengan menghiraukan beberapa aspek yang lainnya terutama dalam hal ini adalah lingkungan. Lingkungan dinilai sebagai objek ekonomi, sehingga menciptakan persaingan global antara negara maju dengan negara berkembang dalam memacu pertumbuhan ekonominya . Ekonomi global telah membawa kondisi lingkungan makin terpuruk mengingat ekpansi besar-besaran terhadap lingkungan, hutan telah dibuka untuk dijadikan kawasan pertanian, hasil hutan dikeruk untuk kebutuhan industri, lahan penghijauan telah dijadikan perumahan dan banyak lagi lahan atau kawasan hijau dibangun untuk property. Investasi ekonomi menjadi alasan eksplotasi lingkungan secara besar-besaran .
Dengan adanya dominasi kepentingan ekonomi terhadap kepentingan lingkungan menjadikan kondisi bumi mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi begitu banyak anomali seperti masa panen dan alih tanam dalam pertanian tidak dapat diprediksikan dengan kondisi musim yang juga tidak dapat diprediksikan kembali. Nilai ketidakseimbangan tersebut kemudian menjadi permasalahan serius dalam perkembangannya karena menyangkut kelangsungan manusia selanjutnya dan juga menyangkut generasi yang akan datang. Makin berkembangnya teknologi di satu sisi telah mendorong terciptanya berjuta karya yang tidak lagi memperdulikan lingkungan dan hanya berorientasikan pada kebutuhan manusia saja, begitu banyaknya mobil-mobil yang bertenaga besar sekaligus “boros” dalam penggunanan bahan bakar. Begitu nikmatnya makanan yang segar namun di sisi lain telah mengeluarkan gas yang berbahaya bagi lingkungan dan banyak hal lainnya seperti kekayaan melimpah, namun kemiskinan kian bertambah, teknologi makin maju, degaradasi lingkungan makin cepat dan sebagainya sesuai dengan ironi pembangunan dalam perubahan iklim . Era industrialisasi disinyalir sebagai biang kerok terhadap permasalahan yang terjadi dengan “membabibuta” sumber daya alam (SDA) yang makin memperburuk kondisi lingkungan.
Berbalik dengan kondisi etika diatas etika Deep Ecology (DE) yang memiliki pandangan berbeda mengenai masalah lingkungan, DE cenderung memaknai bahwa semua yang hidup dan ada di dalam kehidupan mempunyai nilai dan harkat di tengah komunitas kehidupan sehingga alam dan manusia memiliki kedudukan yang sama sehingga tanggung jawab antara manusia dan alam haruslah terjalin. Manusia bukanlah pusat dari moral malainkan harus dilihat dari seluruh biosfer di muka bumi. Hubungan antara manusia dan alam memiliki kedudukan yang sama, sehingga keberadaan dalam sebuah ekosistem bukan dilihat dari tingkatan hirarkis, dengan demikian antara manusia dengan seluruh komponen ekosistem akan tercipta keseimbangan yang pada akhirnya membawa kepada keselarasan manusia dengan lingkungannya.
Di sisi yang lain, era industrialisasi yang menjadi penyebab utama dalam kerusakan lingkungan seharusnya dalam pandangan DE adalah dengan tidak melihat SDA sebagai fungsi ekonomisnya saja , artinya produksi dan nilai konsumtif seharusnya dapat diperhitungkan sehingga adanya ruang dan waktu untuk melakukan perbaikan pembaruan kondisi SDA itu terhadap kepunahan dari eksploitasi yang sangat berlebih. Inilah yang mendasari bahwa etika lingkungan yang deep menyimpulkan bahwa ketidakseimbangan hubungan inilah yang menjadikan bumi saat ini dalam perubahan iklim yang ekstrim.
Sehingga masyarakat mulai menanggapinya dengan bukti-bukti ilmiah terhadap sistim iklim di dunia dengan kegiatan manusia yang tengah berlangsung sehingga dibentuklah IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang bertugas untuk mengetahui dan penelitian terhadap perubahan iklim tersebut, yang pada akhirnya membawa PBB untuk membuat kerangka kerja yang dikenal dengan kenvensi perubahan iklim dunia PBB sebagai langkah antisipasi terhadap dampak kerusakan lingkungan yang telah tampak dengan jelas menimpa dunia pada saat ini.
Konvensi perubahan Iklim PBB ( UN Framework Convention on Climate Change, UNFCC) seteleh diterima secara universal dalam dunia sebagai sebuah komitmen bersama tentang perubahan iklim. UNFCCC telah berjalan lebih dari satu darsa warsa namun kebijakan lingkungan yang diperoleh sebagian mengalami jalan buntu, dan berbalik menjadi pertikaian dan perebutan kepentingan antara negara maju yang diklaim sebagai penyebab kerusakan lingkungan dengan negara berkembang sebagai korban atas kerusakan lingkungan. Tentunya hal ini ironis sekali dengan kondisi lingkungan yang mengisyaratkan untuk dipercepatnya perbaikan kualitas lingkungan. Terlihat juga tanggapan dingin dari beberapa negara dalam perjalanan konvensi perubahan iklim dimana pada awalnya hanya ditandatangani oleh 55 negara pada tahun 1992 dan baru pada penghujung tahun 2007 ditandatangani oleh 195 negara . Sungguh kesadaran yang sangat lamban mengingat kebutuhan untuk perbaikan lingkungan harus segera dilakukan, para pelaku pengerusakan lingkungan pun terasa sulit untuk mengelurkan dana untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang telah dirusak .
Diselenggarakannya UNFCCC pada dasarnya adalah terobosan yang sangat tepat sebagai langkah antisipasi jangka pendek terhadap berbagai masalah yang ditimbulkan oleh perubahan iklim yang melanda bumi, yang secara langsung berdampak pada banyaknya bencana alam yang terjadi, kejadian ekstrim kerap terjadi dan bahkan telah menelan banyak korban terhadap ketidakseimbangan kondisi lingkungan saat ini, banjir selalu terjadi di berbagai wilayah di dunia.
Beberapa permasalahan serius dihadapi oleh dunia saat ini. Iklim yang ada sudah mulai berubah dengan pencemaran udara oleh bahan bakar fosil, eksploitasi besar-besaran perusahaan tambang, property dan lainnnya sebagai penyumbang terbesar kerusakan iklim di bumi . Hampir seluruh aspek kehidupan mendapatkan dampak yang serius. Menurut data, tahun 2007 saja diwarnai oleh bencana yang datang beruntun di seluruh dunia, kerugian akibat bencana ini tidaklah sedikit, angkanya mencapai US$ 75 miliar. Sementara itu di negara berkembang bencana alam tahun ini telah mengakibatkan 20 ribu orang tewas . Sebuah angka yang sangat mengkhawatirkan mengingat komitmen berupa konvensi atas kerusakan lingkungan telah berjalan lebih dari lima belas tahun sejak Mandate Berlin 1995.
Konvensi perubahan iklim harus dapat memaksakan negara-negara maju mengurangi polusi industrinya. Bahkan Amerika sebagai penyumbang emisi karbon tertinggi di dunia, malah berbalik badan dari kesepakatan yang sempat ditandatanganinya itu. Pada saat yang sama, lembaga ini juga tak mampu menuntun negara berkembang untuk merawat dan memelihara hutannya.
Dalam menanggapi permasalahan lingkungan ini, konvensi haruslah berkaca pada cara pandang yang dibutuhkan bumi pada saat sekarang ini yaitu DE mengingat etika ini telah memberikan perhatian yang seimbang dengan menempatkan persoalan lingkungan ini pada titik egoisme manusia yang harus ditinggalkan dan pemanfaatan terhadap SDA haruslah diperhitungkan secara holistik menyangkut kesatuan seluruh komponen dalam sebuah ekosistem yang ada sehingga permasalahan lingkungan yang dihadapi dapat secara bertahap diselesaikan.
Sampai pada pertemuan Cop 13 Bali Desember 2007 yang menghasilkan “Bali Road Map” juga masih kental dengan nuansa tarik ulur kepentingan antara negara maju dengan negara berkembang, negara peserta konvensi masih disibukkan dengan nilai dan angka yang tepat untuk memperjualbelikan karbon yang dihasilkan.. Pembahasan yang meyangkut kepedulian terhadap lingkungan tidak tampak, dalam artian mekanisme yang telah dibuat dan diputuskan hanya menjadi tameng bagi beberapa oknum untuk mengalihkan perhatian hanya sebatas nilai dan angka jual beli karbon, muatan ekonomi dalam konvensi perubahan iklim PBB ini sangat dominan tercermin dalam beberapa mekanisme yang telah dihasilkan dalam konvensi tersebut.
Konvensi yang diharapkan mampu untuk menghasilkan kebijakan yang strategis untuk mengatasi kerusakan lingkungan kemudian dijadikan ajang untuk mencari dan meraih kepentingan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang. Hal ini terkait dengan diperlukannya perubahan politik yang mendasar untuk melahirkan kebijakan yang lebih mendorng kepada perbaikan kualitas lingkungan. Konvensi perubahan iklim PBB, yang cenderung mekanistik dalam penetangan polusi dan pengurasan sumber daya dan juga mempercayai bahwa ekplotasi dapat berjalan bersamaan tanpa merubah pola konsumsi , akan menjadi permasalahan yang terus membawa kepada keterpurukan lingkungan serta permasalahan yang baru bagi kelangsungan dan ketahanan lingkungan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar