Next Bupati Lombok Tengah

Kamis, 25 Maret 2010

ANALISA STRATEGI ALTERNATIF DALAM PENYELESAIAN MASALAH KEAMANAN PERBATASAN DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Isu keamanan internasional dewasa ini terlihat makin kompleks, walaupun pergeseran subjek Hubungan Internasional mulai beralih terhadap isu-isu non militer. Salah satu isu yang cukup menarik dalam konteks keamanan internasional adalah Masalah perbatasan suatu negara, isu perbatasan menjadi masalah serius bagi negara-negara berkembang, khusunya dihadapi oleh negara-negara kepulaun, hal ini terkait selain dikarenakan belum jelasnya batas antar negara yang belum disepakati, tetapi lebih jauh lagi dikarenakan adanya weakness atau kelemahan dari salah satu pihak sehingga memberikan peluang bagi suatu pihak untuk bertindak melakukan pelanggaran perbatasan tersebut artinya suatu negara dengan sistem kontrol yang lemah membuka peluang bagi negara untuk dapat melanggar kesepakatan terhadap batas-batas negara. Konflik perbatasan menjadi sangat kompleks karena selain melanggar kedaulatan suatu negara juga, sangat merugikan dengan motif-motif pelanggaran perbatasan itu sendiri, baik motif ekonomi, social dan politik, hal ini tentunya memberikan embrio konflik yang pada akhirnya berakhir pada tindakan konfrontatif atau perang.
Isu perbatasan yang menjadi sumber konflik pada dewasa ini dalam suatu kawasan dapat kita lihat di kawasan Asia Tenggara, dalam tulisan ini, penulis mencoba mendatangkan kasus di Indonesia, sebagai negara yang berdaulat dengan memiliki wilayah yang sangat luas, Indonesia setidaknya memiliki 10 ancaman perbatasan yang sangat merugikan Indonesia, diataranya Indonesia dengan Singapura tehadap penambangan pasir iliegal, kemudian Malaysia dengan batas negara di Selat Malaka dan juga di Kalimantan Barat, serta Indonesia dengan Australia mengenai zone ekslusif ekonomi (ZEE) dan banyak lagi ancaman perbatasan yang kemudian menjadi masalah karena “rawan”terhadap konflik diantara negara dalam satu kawasan.
Dengan kondisi yang mengisyaratkan rawannya daerah perbatasan disini penulis memberikan pandangan pendekatan mengenai hal tersebut untuk memberikan alternatif khusunya dalam rangka membendung terjadinya konfik perbatasan. Penulis mencoba menelaah isu diatas dengan Pendekatan tradisional, berakar dari mazhab Realisme dalam Ilmu Hubungan Internasional dan menyatakan bahwa konsep keamanan merupakan sebuah kondisi yang terbebas dari ancaman militer atau kemampuan suatu negara untuk melindungi negara bangsanya dari serangan militer yang berasal dari lingkungan eksternal (the absence of a military threat or with the protection of the nation from external overthrow or attack) , sehingga sektor analisis yang harus disoroti adalah kapabilitas militer suatu negara untuk mempertahankan diri. Kapabilitas dalam hal ini penulis memberikan sub analisis terhadap “alat utama sistem persenjataan” (ALUTSISTA) suatu negara sehingga memberikan potensi penekanan terhadap tindakan pelangaran batas yuridis dikarenakan sistem senjata yang cukup memadai, di Indonesia setidaknya ALUTSISTA yang dimaksudkan adalah pada dataran yang menyangkut efisiensi, baik terhadap anggaran dan juga sistem persenjataan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan terhadap ancaman yang nantinya akan dihadapi. Sub analisis yang kedua adalah terhadap konsep profesionalisme militer , oleh prof. Yahya A. Muhaimin. Dengan mengembalikkan fungsi militer dengan tidak boleh disibukkan dengan urusan-urusan non mliliter seperti, ekonomi, social, dan politik seperti yang terjadi pada masa orde baru sehingga menjadi tanggungan orang sipil dan bukan militer.
Dengan pendekatan tradisional terhadap 2 sub analisis ALUTSISTA dan Profesionalisme Militer, akan menjadikan deeskalasi konflik perbatasan yang kerap menjadi masalah dikarenakan control dari salah satu belum dimaksimalkan. Alternatif yang dimaksudkan penulis adalah dengan memberikan peningkatan control suatu negara dalam hal ini militer suatu negara sehingga rangsanan untuk melakukan tindakan pelanggaran dapat diminimalisir.

MASALAH PERBATASAN INDONESIA
Permasalahan perbatasan merupakan hal penting yang dihadapi oleh negara berkembang yang berbentuk kepulauan, konflik perbatasan yang terjadi selama ini selain diakibatkan oleh lemahnya kesadaran kedua belah negara terhadap batas-batas territorialnya, juga lebih luas lagi disebabkan karena lemahnya control yang dilakukan oleh masing-masing negara. sehingga jika melihat dari prespektif realism keadaan ini merupakan akumulasi dari deterrence yang tidak dimiliki suatu bangsa sehingga tidak mampu untuk meredam terjadinya masalah perbatasan.
Dalam paper, kami menadatangkan kasus pelanggaran perbatasan yang dihadapi oleh Indonesia dengan negara tetangga. NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia) adalah negara kepulauan yang memiliki wilayah yang sangat luas, dengan wilayah lautan sekitar 75% dari seluruh wilayah Indonesia, selain itu juga indonesia memiliki keunggulan komparatif dari segi geografi, dalam hal lalu lintas laut negara di dunia. Namun dengan letak yang cukup strategis Indonesia memiliki ancaman perbatsasn yang cukup tinggi, dengan perbatasan laut dan darat yang cukup luas. Kasus perbatasan di Indonesia sering memicu disharmonisasi hubungan kedua belah pihak, bentuk-bentuk pelangaran yang terjadi sangat kompleks, mulai dari illegal fishing, Ilegal mining, dan trading diantaranya berupa penambangan pasir, penebangan kayu, dsb.
Data menunjukkan bahwa penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut Indonesia terus meningkat, dengan total kerugian yang dialami Indonesia sekitar US$ 2 milyar, atau sekitar Rp. 18 Trilyun per tahun. Dari kegiatan penyelundupan, Indonesia mengalami kerugian sekitar US$ 1milyar pertahun. Ekspoitasi pasir secara ilegal merugikan Indonesia lebih dari Rp. 2 Trilyun setiap tahun . Sementara kegiatan pencurian kayu (ilegal logging) merugikan negara sekitar Rp. 30 Trilyun. Kondisi yang memprihatinkan tersebut menuntut upaya sistematis bangsa dan pemerintah untuk menyelamatkan perairan Indonesia, maupun meningkatkan kemampuan sumber daya untuk memanfaatkan laut Indonesia.
Posisi strategis Indonesia sebagai salah satu poros lalu lintas dunia internasional, menempatkan Indonesia rawan terhadap berbagai ancaman keamanan udara. Isu keamanan udara dengan potensi ancaman di masa mendatang meliputi ancaman kekerasan (pembajakan udara, sabotase obyek vital, terror, dsb), ancaman pelanggaran udara (penerbangan gelap dan pengintaian terhadap wilayah Indonesia), ancaman sumber daya (pemanfaatan wilayah udara oleh negara lain), dan ancaman pelanggaran hukum melalui media udara (migrasi ilegal dan penyelundupan manusia).
BENTUK-BENTUK KONFLIK PERBATASAN
Konflik perbatasan menjadi permasalahan yang tak kunjung usia dengan makin bertambahnya model dan jenis konflik yang dihadapi, bentuk konflik yang dihadapi Indonesia yang masih menjadi ancaman diantaranya:
Perbatasan Indonesia-Singapura .
Masalah yang terjadi antara indoensia dan singpura adalah Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Sinagpura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan. Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritime Indonesia dengan Singapura.
Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati ke dua negara. Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia. Permasalahan lain kedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan. Penyulundupan yang masih tinggi di daerah perbatsan Indonesia-Malaysia, Disamping itu juga masalah-masalah selat malaka, sebagai jalur perdagangan internasional, kemudian hilangnya Sipadan-Ligitan serta Ambalat dan TKI illegal adalah bentuk masalah perbatasan , tentunya dalam hal ekonomi Indonesia dirugikan.
Perbatasan Indonesia-Australia.
Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor. Celah timor menjadi sengketa yang cukup panjang dikarenakan banyaknya nelayan-nelaya Australia yang memancing di celah Timor, selain itu tingginya tingkat imigran gelap yang masuk melewati celah timor menjadikan intnsitas konflik yang cukup tinggi di celah timor.
Perbatasan Indonesia-Thailand.
Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia.
Perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada diperbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan, dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari.
Dengan data yang ditunjukkan diatas, tentunya masalah perbatasan menjadi prioritas utama pemerintah untuk memlihara integritas dan kedaulatan bangsa, masalah ini tentunya dilihat secara holistic dengan mengedepankan perangkat pertahanan yang baik untuk menjaga, dan meminilisasi konflik perbatasan yang kerap merugikan Indonesia.
Intensitas pelanggaran di wilayah perbatasan membutuhkan pengawasan dan pembangunan perangkat pertahanan yang komperhensif. Sehingga dalam hal ini penulis menginginkan wilayah perbatasan menjadi sorotan utama dalam pembangunan pertahanan di Indonesia.

STRATEGI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH PERBATASAN
Indonesia perlu mengembangkan konsep “Deterrence” atau penangkalan. Dengan adanya deterrence ini diharapakan dapat memberikan dampak psikologis terhadap negara-negara yang akan melakukan serangan militer ke Indonesia atau melakukan tindakan-tindakan lainnya sehingga mereka akan mengetahui efeknya jika mereka berani untuk melakukan pelanggaran terhadap wilayah Indonesia dan jika terjadi serangan balasan (retaliation). Salah satu langkah untuk mewujudkan deterrence tersebut yaitu dengan melakukan modernisasi atau pembangunan kekuatan militer Indonesia.
Pembaharuan ALUTSISTA (alat utama system persenjataan) harus dilakukan, tidak hanya sekedar perawatan persenjataan yang telah ada tetapi kita perlu membeli senjata dan peralatan tempur lainnya yang modern juga memiliki teknologi yang canggih untuk melindungai wilayah NKRI ini.
Kekuatan militer Indonesia terutama di bidang teknologi telah tertinggal jauh. Tetapi jika kita telah memiliki semua peralatan tersebut, kita jangan sampai lupa untuk menjaga atau merawatna sehingga jika sewaktu-waktu dibutuhkan semua peralatan tersebut dapat digunakan dengan lancar. Indonesia terkadang terlalu sering membangun tetapi lupa untuk menjaga atau merawatnya, hal ini diperkuat dengan data alutisista yang hampir 40% yang ada tidak dapat dioperasikan .
Modrenisasi perangkat ALUTSISTA (alat utama sistem persenjataan) dari ketiga Angakata bersenjata (Angkatan Darat(AD), Angkatan Udara(AU) dan Angkatan Laut(AL)) mutlak dibutukan. Keterpurukan yang teradi selama ini dalam menghadapi permasalahan perbatasan, point pentingnya adalah peningkatan, pengadaan serta pembaharuan ALUTSISTA Indonesia yang seharusnya menjadi paling utama. Hal yang sangat berlebihan ketika meminta TNI untuk bekerja optimal tanpa didukung oleh persenjataan yang memadai, pengadaan ALUTSISTA selama ini hanya diberikan 32% dari anggaran departemen pertahanan, sangat kecil untuk pengadaan ALUTSISTA yang memadai khususnya dalam bidang AU dan AL yang secara domestik Indonesia belum memiliki kapasitas untuk mencapai teknologi dalam hal itu atau kemandirian dalam memproduksi ALUTSISTA AU, AL. ketimpangan ini dapat dilihat dari pengadaan ALUTSISTA antara AD, AU dan AL. AD memiliki kendaran tempur 934 unit, ranmor 59.842 sedangkan untuk AL, hanya memilki 126 uit, dan KAL hanya 76 unit sedangkan AU lebih parah lagi hanya memiliki 66 unit dan hanya 48 % yang layak untuk diterbangkan, artinya dalam data diatas menunjukkan adanya porsi anggaran yang lebih besar pada AD sehingga dinilai kurang tepat dalam menilai konflik perbatasan.
Ralisasi negara terhadap pertahanan sangat tidak relevan ini dikarenakan belum munculnya kesadaran yang tinggi untuk membendung ancaman perbatasan yang selama ini tidak pernah hilang dari wilayah indoensia, Keterbatasan anggaran selama ini menjadi alasan TNI untuk menjadikan konflik perbatasan sebagai hal yang cukup sulit untuk di tekan atau di selesaikan, namun dalam pendekat ini kami melihat bahwa angaran yang selama ini cukup besar dengan penigkatan dari tahun ke tahun, sehingga yang patut untuk menjadi sorotan adalah, selain peningkatan anggaran juga diperlukan peningkatan kebijakan yang strategis yang mampu untuk mengatasi ancaman perbatasan yang selama ini membelenggu pemikiran Departemen Pertahanan Indonesia yang kurang concern dalam bidang penigkatan strategi pertahanan yang baik yang sesuai dengan kondisi geografis indoensia.
Selanjutnya adalah kesiapan dan persenjataan ALUTSISTA dengan Efisiensi Anggaran dengan mendahulukan pengadaan dalam senjata untuk AU dan AL sebagai garda depan pertahanan negara.

PEMBANGUNAN ALUTSISTA (ALAT UTAMA SISTEM PERSENJATAAN)

- Postur Paningkatan Persenjataan Sesuai Dengan Kondisi Geografis
Dengan kondisi geograsi yang selama ini hanya bertumpu pada matra angakatan darat, diubah menjadi matra angkatan laut dan udara, hal ini bertumpu pada hampir 75% wilayah Indonesia adalah perairan, hal ini menjadi sangat rasional dikarenakan indicator konflik perbatasan terjadi di perairan atau di wilayah kelautan dan udara, ini memudahkan juga untuk menghentikan atau preventif tindakan-tindakan kejahatan, sehingga secara pendek kita mengatakan bahwa konflik yang selama ini terjadi dikarenakan postur TNI selama ini hanya pada dataran “historical” seperti perjuangan melawan penjajah yang hanya berlangsung di darat saja, tentunya kesalahan ini menjadi titik bahwa perjuangan yang selama ini hanya berlangsung di darat, hal ini diperkuat dengan data-data telah disebutkan diatas.
Aspek yang selama ini menjadi prioritas TNI adalah pulau-pulau besar yang bedasrkan pada matra angkatan darat, hal ini sangat ironis dan kprespektif yang keliru baik dalam persepsi ancaman dan bentuk geografis, Postur TNI sebagai aparatur menjaga ketahanan kedaulatan negara, kekuatan personil TNI harus proporsional sesuai dengan kebutuhan, contoh ketimpangan yang terjadi adalah kekuatan personil yang ada dengan kondisi geografis indonesi yang luas adalah sekitar, 376.000 dengan 288.000 AD, dan 59.000 AL, dan 28.000 AU.
- Postur Peningkatan Sesuai Dengan Efisiensi Anggaran Pertahanan Dan Ancaman
Selain itu itu juga aspek kekuatan yang harusnya dibangun adalah menyangkut ancaman ataupun pendekatan berdasarkan kemampuan, sehingga harus ada kombinasi dari kondisi ancaman dan besarnya anggaran dengan ketepatan pembelian ALUTSISTA.
Bentuk Ancaman.
Untuk mendukung peningkatan ALUTISTA tentuny kita haru smelihat bentuk acman yang diahadapi, pertama Ancaman Militer, ancaman yang menggunakan kekuatan persenjataan, yang membahayakan kedaulatan negara, seseprti, keutuhan wilayah negara, berupa agresi, pemberontakan bersenjata, spionase, dan agresi. Yang menjadi menarik tentunya bentuk spionase, di abad modern dilakukan oleh agen-agen rahasia denga mencari danmendaptkan rahasi-rahasi negara sehingga dapat memberikan efek yang cukup penting dalam hal memposisikan diri dalam suatu konflik. Kedua, Ancaman Non Militer, Berdimenasi ekonomi, ekonomi menjadi sebuah ancaman yang nyata, hal ini dikarenakan tingkat ekonomi suatu negara akan mentukan posisi suatu negara dalam berhubungan di dunia internasional. Ketiga, Ancaman Potensi Ancaman Baru, Kejahatan lintas batas negara, seperti, pembajakan, penyelundupan manusia, senjata, dan amunisi, serta perdgangan obat-obatan terlarang, menigktanya ancaman ini dikarenkan stabilitas kawasan tidak cukup kuat untuk membendung terjadinya kajahatan lintas negara ini.
Ancaman diatas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi diarenakan nihilitas ALUTSISTA indonesia dalam bidang tindakan preventif, seperti keadaan radar yang sudah usang, kapal patroli AL yang masih kurang, serta kapal tempur yang perlu untuk dipersenjatai. Artinya Bentuk ancaman ini akan mengarahkan kebijakan pertahanan dalam jangka panjang, bukan dalam sebagai pertahanan periodic, atau accindental, sehingga orientasi yang didapatkan lebih jelas dengan system persenjataan yang lebih baik.
Namun yang mejadi rasionalisasi atas keadaan ALUTSISTA selama ini adalah anggaran yang kurang, sehingga dalam hal ini lebih baik untuk melakukan efisiensi, efisiensi anggaran menjadi pilihan utama untuk meningkatkan kinerja pertahanan dikarenkan desakan konflik yang harus segara diatasi, sedangkan angggara pertahanan hanya memiliki kenaikan 1% tiap tahunnya.
Efisiensi tentunya dilakukan dengan berbagai alternatif Pertama dengan memberikan alokasi anggaran yang tepat. Program pengembangan pertahanan matra darat yang selama ini memiliki porsi yang lebih banyak dari AL dan AU. Sehingga pengurangan anggaran AD tentunya dialokasikan untuk kelengkapan matara AL dan AU untuk menjaga perairan Indonesia. Berbagai tindak pidana seperti illegal fishing dan illegal logging menggunakan jalur laut sulit untuk diatasi oleh TNI AL yang terbatas perlengkapannya dan Terutama dengan menambah jumlah anggaran untuk TNI AL. Dengan memperkuat TNI AL, pendapatan pemerintah akan meningkat dari penekanan angka penyelundupan dan kejahatan yang telah disebutkan diatas. penguatan TNI AL sesuai dengan strategi pertahanan negara kepulauan seperti Indonesia. Dengan kondisi geografis berupa kepulauan, sistem pertahanan berlapis mulai dari laut lebih sesuai untuk Indonesia (Widjajanto, 2002). Ditambahkan pula bahwa sejarah mencatat kekuatan maritim suatu negara akan mampu menguasai dunia , ini mengindikasikan bahwa persenjataan di Laut mutlak dibutuhkan dalam konteks negara keplauan. Strategi efisiensi Kedua dapat dilakukan dengan memperjelas peran antara pertahanan dan keamanan. Selama ini pertahanan dimengerti sebagai strategi penangkal ancaman eksternal. Istilah pertahanan tentunya menjadi porsi yang harus menjdi perhatian artinya ancaman dari luar memiliki porsi yang harus dilebihkan untuk mengantisipasi ancaman yang lebih beragam dari dunia luar. Efisiensi Ketiga dilakukan dengan melakukan konsolidasi seluruh anggaran TNI. Dengan Potensi daerah yang memiliki “kekayaan” yang besar tentunya dapat didorong untuk memberikan sumbangsih terhadap peningkatan persenjataan nasional. Strategi efisiensi anggaran keempat dapat dilakukan dengan memangkas birokrasi untuk memperkecil peluang kebocoran anggaran dan mengurangi biaya yang tidak diperlukan. Efisiensi ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi yang akan diuraikan secara mendalam berikut ini.
Efisiensi adalah jalan terkahir yang penulis tawarkan dalam rangaka reorientasi ALUTSISTA Indonesia dalam rangka mengatasi permasalahan keamanan di wilayah perbatasan, efisiensi tentunya akan optimal jika strategi dan arah kebijakan pertahanan berada pada track yang lurus untuk melihat persepsi ancaman serta kondisi geografis Indonesia secara holistik.

KESIMPULAN.
Keamanan perbatasan wilayah Indonesia selama ini mengalami disorietasi, hal ini dibuktikan dengan begitu besarnya permasalahan perbatasan yang terjadi, kesalahan kebijakan pertahanan selama ini lebih mengedepankan tindakan perlawanan bukan pada dataran pencegahan terlebih lagi dalam bentuk Angkatan Darat, serta sentraliasasi pertahanan yaki pulau Jawa, sehingga konflik muncul terlebih dahulu baru terjadi tindakan, hal ini tentnya tidak relevan lagi di era globalisasi. Penegakan kedaulatan wilayah khusunya di bidang perairan atau laut perlu adanya pertahanan negara dan penangkalan gangguan, menyiapkan kekuatan untuk persiapan perang, menangkal setiap ancaman militer, untuk melindungi dan menjaga batas-batas wilayah perairan, serta menjaga keamanan nasional.
Reorientasi kebijakan pertahanan seharusnya mengarah kepada karakteristik negara Indoensia yang berbentuk kepulauan, dan negara maritime yang luas, sehingga arah kebijakan tentunya dengan melakukan tindakan preventi atau “deterrence” artinya dengan mengantisipasi bentuk ancaman dengan peningkatan system persenjataan, hal ini menjadi penting dalam menciptakan deterrence, tentunya dengan persepsi ancaman dan efisiensi Anggaran dalam rangka penigkatan penigkatan ALUTSISTA jangka panjang, bukan periodic atau accidental.

DAFTAR PUSTAKA
Buzan, Barry. 1987. An Introduction to Strategic Studies: Military Technology and International Realtions. London: MacMilla Press
Effendy, Muhadjir. Profesionalisme Militer, Profesionalisasi TNI. Malang : UMM Press, 2008.
Harsono, Timotius D. “Economic Defense, dan Arah Kebijakan Pembangunan TNI”Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta
Muhaimin.A Yahya. Bambu Runcing Dan Mesiu, Masalah Kebijkan Pembinaan Pertahan Indonesia. Tiara Wacana.2008
Rahakundini, Connie. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007
Suryo, Sayidiman H. Si Vis Pacem Para Bellum.Jakarta : Gramedia. 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar