Next Bupati Lombok Tengah

Kamis, 25 Maret 2010

prespektif

Kasus Separatisme :
“Organisasi Papua Merdekda Dalam Prespektif English School”
PAPUA merupakan salah satu daerah propinsi di Indonesia, yang dilandasai dengan perjanjian Linggarjati, Renvile, serta pengakuan dunia internasional pada persetujuan New York yang mengukuhkan hasil PEPERA pada tahun 1969 dan bukti Colonial yang dilandaskan pada Papua merupakan daerah colonial Belanda sehingga semua tanah jajahan belanda menjadi bagian NKRI.
Persoalan Papua menjadi berkembang setelah berdirinya organisasi Papua merdeka yang menghendaki pemisahan daerah Papua dari NKRI. Gerarakan OPM telah meresahkan kehidupan di PAPUA, selain itu juga OPM kerap menjadi dalang atas konflik senjata yang terjadi di Papua. pada tahun 1971 organisasi Papua merdeka memproklamasikan kemerdekaan “Republic of west Papua”. Dan hal ini tentunya menjadi perhatian dunia internasional.
Potensi dan kekayaan Papua menjadi alasan mereka yang untuk memisahkan diri, pemerataan pembangunan yang tidak sampai ke daerah mereka serta marginalisasi yang terjadi di sebagian pendudukan Papua terhadap warga negara non Papua yang makin memperuncing terjadi gerakan-gerakan separatism.
Kasus separatism Papua oleh gerakan OPM secara historical berujung dari beberapa faktor yang mendorong gerakan ini tumbuh dan berkembang dan menjadi sebuah rasionalitas yang dapat dijadikan nilai-nilai yang patut untuk diperjuangakan.
Beberapa faktor dapat kita lihat sebagai dasar separatism ini sendiri, diantaranya:
Pertama, Munculnya islamisasi yang merupakan pemaksaan kehendak terhadap keyakinan yang mereka anut, menjadi kaum minoritas di wilayah kesatuan NKRI menjadi salah satu menjadi isu yang makin memperuncing terjadinya gerakan pemisahan. Hal ini dijadikan rasionalitas dikarenakan begitu banyaknya orang-orang jawa yang nota benenya hampir muslim, yang masuk ke Papua atas program pemerataan penduduk oleh pemerintah, hal ini juga sering mengakibatkan konflik horizontal. Secara umum kemudian berdapak pada displacement warga papua terhadap warga pendatang.
Kedua, Pembangunan yang ada di Papua jauh tertinggal dengan di daerah lain, bertolak belakang dengan kekayaan yang dimiliki oleh Papua itu sendiri, infrastuktur kesehatan, pendidikan dan fasilitas umum lainnya jauh tertinggal dengan daerah lainnya. Laporan BPS (2006) menyebutkan bahwa penduduk miskin di Papua sebesar 47,99%, Jadi kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk Provinsi Papua yang hanya berkisar 2,4 Juta jiwa, maka bisa dikatakan bahwa hampir setengah dari penduduk Provinsi Papua, masih dalam kategori miskin. Belum lagi dengan laporan pembagunan manusia Indonesia (2004) yang menyebutkan bahwa provinsi Papua merupakan provinsi termiskin tertinggi di Indoensia di mana 41,8% penduduk Papua berpenghasilan kurang dari 1 Dollar AS per hari.
Yang Ketiga, adalah marginalisasi ras yang tidak dapat “dihindarkan” dalam pergaulan antar bangsa, marginalisasi ini dikarenakan munculnya wacana bangsa Indonesia adalah bangsa melayu dan Papua sendiri bukan bangsa melayu melainkan bangsa Melanesia. Sehingga tindakan rasisme kerap memicu kecemburuan dan konflik yang terjadi di wilayah Papua dan daerah lainnya di Indonesia. Haruslah dicatat bahwa orang-orang asli Papua berbeda secara linguistik dan secara rasial dengan mayoritas orang-orang Indonesia. Orang-Orang Papua dipercaya berasal dari Afrika sementara Mayoritas Orang Indonesia adalah Orang Jawa. Studi-studi seperti ditunjukkan diatas menguatkan indikasi bahwa Indonesia sedang melakukan genosida terhadap Orang Papua Barat melalui penindasan dan tindakan-tindakan kekerasan, dan tindakan genosida ini didasarkan pada Pandangan Rasisme. Dalam konteks politik Papua juga termarginalkan dengan minoritas suara sehingga menjadi lemah dalam konteks Pemilu dan Pilkada.
Suatu studi terbaru oleh Klinik HAM Lowenstein Universitas Yale menyebutkan :"Bukti Historis dan Kontemporer betul-betul menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan terlarang dengan tujuan untuk menghancurkan Orang-Orang Papua Barat, seperti halnya pelanggaran terhadap Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan Genosida (Pemusnahan Etnis) dan Larangan-Larangan Hukum Internasional.
Fakta sejarah yang telah menjadi warga Papua menjadi warga kelas 2 yang diindentikan dengan kebodohan, kemiskinan iniliah dasar bagi mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri sehinga tidak lagi harus berada pada wilayah yang tidak sejalan dengan niali-nilai mereka.

Analisa Kasus Papua Merdeka Berdasarkan Teori English School
Permasalahan Papua ini menjadi permasalahan serius bagi ketahanan kedaulatan Indonesia, namun pada pemikiran yang lebih luas tentunya kita harus melihat hal ini scara holistic, dengan rasionalitas yang cukup dalam rangka mendalami apakah kasus separatism Papua ini menjadi tindakan illegal atau legal? Dalam hal ini penulis mencoba untuk memberikan analisa hal tersebut dengan kerangka prespektif English School.
Point dasar dari teori ini untuk membedah kasus separatism adalah norma atau value yang tidak diciptakan secara universal atau norma yang diterima oleh semua kelompok dalam hal ini misalnya norma yang diciptakan oleh regime atau negara. Kita mengenal separatism dalam norma internasional tentunya tidak diperbolehkan karena merusak dan melanggar integaritas suatu bangsa dan termasuk tindakan pidana berat. Norma-norma seperti inilah yang dalam pemikir English school ditolak karena tidak mengandung nilai-nilai keadilan itu sendiri bagi suatu kelompok yang berbeda norma dan value yang mereka yakini.
Cukup menarik melihat kasus-kasus separatism dalam kerangka berfikir English School. Di satu sisi nilai-nilai secara universal dalam piagam PBB telah mengisyaratkan gerakan separatism ditolak dan siapapun yang membantu baik negara maupun kelompok termasuk tindakan pidana, sehingga untuk mengungkap kasus separatism ini teori Engslish School akan memberikan pandangan yang lebih luas dan jauh berbeda dengan konsep norm, atau value dalam tataran kelompok bukan pada dataran negara atau norma secara universal yang diyakini oleh setiap negara.
Hak-hak sipil dan politik suatu kelompok harus dihormati dan diakui tentunya dengan rasionalisasi yang diyakini kebenarannya secara factual, ini mengindikasikan gerakan separatism secara logika dapat diterima dalam pandangan English School yang mengisyaratkan penghargaan atas hak-hak sipil setiap kelompok dengan konsep dasar yang diyakini yaitu order dan justice.
Ketertiban ataupun ketertiban yang tumbuh di Papua bisa saja dikatakan berjalan dengan stabilitas pemerintahan yang cukup baik, berjalannya kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi lebih jauh apakah itu menjadi sebuah keadilan bagi mereka yang ada di Papua di bandingkan dengan daerah lainnya, tindakan ketertiban hanya dilakukan dengan tindakan represif, dan juga pemerataan pembangunan yang kurang tersentuh di wilayah mereka.
Masyarakat internasional meyakini kedua hal tersebut akan tercapai dengan penghormatan hak-hak azazi yang telah diterangkan diatas dengan melihat aktor dan rasionalitas dari suatu kelompok. Terbukti dengan rasionalitas kasus separatism di Papua telah mendorong terciptanya ketidakadilan dalam konteks kehidupan bernegara dan berbangsa. Hal inilah yang menjadi benang merah hak-hak sipil dan azasi warga Papua terhempas dan tertindas selama ini.
Telah di sebutkan diatas bahwa dalam teori The English School terbagi atas dua kaum. Kaum Pluralis dan kaum solidaris. Kaum pluralis yang sangat mengutamakan pada order atau ketertiban tentu saja menentang adanya tindakan pemisahan diri seperti yang dilakukan oleh Papua atas Indonesia. Papua sesungguhnya tidak berhak memerdekakan diri atas NKRI. Bahkan NKRI melakukan tindakan yang benar-benar menyita perhatian demi mempertahankan kedaulatannya atas Papua mengeluarkan Undang-undang otonomi khusus yang dalam pemerintahan Megawati yang dikenal kemudian dengan pembentukan Dewan Adat Papua yang berfungsi sebagai legislator pemerintahan Papua. Mereka berpendapat bahwa dengan gerakan Papua memerdekakan diri maka itu akan merusak stabilitas keamanan dalam negeri Indonesia, merusak order atau ketertiban negara tersebut. Indonesia menginginkan Papua tetap berada dalam kedaulatan wilayahnya dengan argumentasi historis dan keinginan mempertahankan negara kesatuan. Indonesia menegaskan bahwa PBB mengukuhkan PEPERA pada atahu 1969.
Dalam ketentuan nasional juga telah diatur jelas mengenai tindakan separatism yang Juga ditegaskan dalam berbagai perjanjian mengenai irian barat/ Papua yang mengisyaratkan Papua sebagai wilayah NKRI yang merupakan bekas jajahan belanda. Gerakan separatism juga tentunya akan mendorong distabilisasi politik dan pemerintahan yang ada di Papua dan di dindonesia, tentunya kemampanan atau ketertiban akan tergangagu, dengan demikian pada akhirnya juga akan menghambat proses pembangunan di Papua itu sendiri. Selain itu juga konteks Papua dinilai sebagai sebuah bentuk tindakan yang illegal dari rasionalitas yang tidak cukup kuat, konteks faktor pendorong yang diwacanakan selama ini tidak mendasar dalamkonteks kehidupan bernegara, seperti; dalam perjuangan perjuangan melawan penjajah atau dalam membentuk NKRI tidak tercantum asas kesamaan ras, agama dsb. Kedangkalan rasional inilah menjadi mendasarkan bahwa dalam pemikir pluralis tindakan separatisme Papua sangatlah dangkal.
Sedangkan jika kita melihat dari sudut pandang kaum solidaris yang menganggap bahwa ketertiban saja tidak cukup namun masih perlu keadilan global tentu saja mendukung kemerdekaan Papua atas Indonesia. Kaum ini mengutamakan tentang Human Right. Dimana dalam kasus Papua dengan berbagai kondisi historis yang telah dipaparkan diatas, maka dengan azas hak azazi dan juga terjadinya benturan nilai inilah menjadikan gerakan separatisme Papua merdeka menjadi sebuah gerakan yang legal dalam kacamata English School. Masyarakat internasional yang dibahas dalam teori ini mengindikasikan bahwa nilai-nilai dalam suatu kelompok harus dihormati untuk mencapai ketertiban dan keadilan yang dimaksudkan.
Nilai-nilai keadilan yang dikonsepsikan oleh masyarakat Papua selama ini tidak tercapai dengan kondisi Papua sekarang ini, yang telah dijelaskan dalam kasus diatas. Tentunya ketertiban saja tidak cukup tetapi keadilan juga harus sejalan sehingga pada akhirnya berangkat dari penghormatan hak-hak azasi dalam berkehidupan tentunya nilai-nilai order dan justice hanya akan dapat dipenuhi dan dipahami oleh masayarakat Papua itu sendiri. dalam konstitusi juga telah diatur dan disebutkan dalam UUD 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak suatu bangsa, maka penajajahn diatas dunia harus diahpuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan pri keadian, konteks keadilan menjadi perhatian utama teori English school sebagai langkah legalitas dalam mencapai masyarakat international, selain itu juga terdapat deklarasi majelis PBB dalam “declaration on The Granting Of independence to colonial countries and people, deklarasi ini mengindikasikan bahwa daerah yang belum “merdeka” berhak mendapatkan dan menentukan pemerintahan sendiri, ditambahkan pula dalam kerangka legal kasus Papua ini adalah Internastional Convenants Of Human Rights, yang ingin mewujudkan perluasan hak-hak ekonomi, soaial dan budaya yang berarti kemerdekaan Papua tidak menjadi bentuk pelanggaran atau tindakan ilegal.
Dalam kajian lebih jauh tentang separatism dalam konsep English school adalah sebuah langkah yang positif dan legal dalam konsepsi mengenai masyarakat internasional, kita menyetujui konsepsi English School yang mempercayai bahwa masyarakat internasional dapat terwujud dalam dunia yang anarki ketika norma dan value dipahami oleh suatu kelompok tertentu, atau landasan value dan norm yang tidak bersifat universal melainkan lebih kepada tataran society atau masyarakat tertentu. Keadaan dan fakta yang terjadi saat ini di Papua dibenarkan oleh banyak data, ketimpangan, kemiskinan serta ketertinggalan pembangunan, ini mengisyaratkan selama ini nilai-nilai yang tidak dapat dipahami oeh negara Indonesia sehingga ketidakadilan terus berlangsung, maka dari itu tentunya nilai-nilai inilah yang diperjuangankan dalam rangka mewujudkan konsepsi tentang msayarakat internasional dengan keteraturan dan keadilan berjalan seimbang.
Rasionalitas separatism Papua ini dapat dilihat sebagai bentuk perjuangan dalam mencapai tatanan masyarakat internasional yang lebih luas, dalam hal ini dipertegas oleh Bull , perjuangan untuk memperoleh kesamaan status sebagai negara berdaulat, revolusi ekonomi untuk menentang berbagai bentuk ketidakmerataan serta eksploitasi akibat sistem perdagangan dan keuangan global yang didominasi Barat. Sekalipun revolusi ekonomi ini juga terkait dengan revolusi politik, perjuangan untuk mencapai keadilan ekonomi tetap berlangsung setelah masyarakat-masyarakat koloni mencapai kemerdekaan, serta perjuanan kultural, yakni penolakan terhadap bentuk-bentuk imperialisme kultural. Upaya-upaya universalisasi konsepsi hak azasi manusia yang didasarkan pada individualime liberal.
Dalam penjelasan lain mengenai rasionalitas gerakan separatism Papua muncul cukup kuat apabila kita mencoba menelaah “Clash of Civilization” (Samuel.P Hutington) yang berbicara jauh bahwa sumber konflik yang akan terus terjadi jika budaya, ras dan agama, hal yang mendasar yang dimiliki suatu kelompok telah mengalami benturan dengan kelompok lain. Kasus ini serupa dengan apa yang terjadi di Papua sekarang ini, banyaknya tekanan dan deskriminasi yang selama ini berlangsung tentunya akan terus berakhir dengan konflik. Maka dari itu rasionalitas separatism Papua dalam prespektif English School merupakan suatu yang legal untuk terciptanya tatanan ketertiban dan keadilan. Inilah yang mewujudkan berlangsungnya masyarakat internasional yang berjalan dengan damai dengan penghormatan atas hak-hak yang diyakini dalam suatu masayarakat.
Kemudian bagiamana menanggapi solusi berupa Otonomi Khusus (Otsus) yang ditawarakan, dalam prakteknya otsus tidak menjadikan Papua memperoleh keadilannya, dan bahkan makin terpuruk, data menunjukkan, Undang-Undang Otonomi Khusus, tidak optimalnya birokrasi, ”pembiaran” pengungkapan kasus-kasus dugaan korupsi di Papua, jebakan nikmatnya euforia banjirnya dana, Pengunaan dana Otsus yang sebesar 10 triliun rupiah (2002-2006) lebih banyak terserap pada level birokrasi yakni sebesar 95% dan hanya sebesar 5% terserap untuk masyarakat kampung. Kalaupun ada perubahan tersebut hanya sebatas perubahan simbol. Artinya solusi yang ditawarkan selama ini tidak akan optimal, dikarenakan pada prinsipnya kemerdekaan itu masih terbelenggu dalam konstitusi NKRI.
Pada akhirnya prespektif English School memberikan konteks kehidupan yang jauh lebih lebih dari apa yang diprediksikan Samuel P. Hutington, benturan dengan hal yang paling mendasar harus dihormati, dengan menumbuhkan konsepsi order dan justice yang selama ini masih terbelenggu dengan ralativisme. Konteks separatism pun menjadi kerangka yang legal dalam pandangan prespektif ini, rasionalitas menjadi hal entri point dalam kasus separatism Papua. Dobrakan untuk mengatakan separatism adalah bentuk kejahatan sebagai bentuk universalisasi oleh barat yang belum tentu menjadi pemebenaran selamanya.


Daftar Pustaka.
Linklater, Andrew.2005 Third Edition. Theories of International Relations. Plagrave macmillan.
Sihombing, Magasi.2005. Aspek Hukum Keberadaan Irian atau Papua Dalam Republik Indoensia. Deplu.Jakarta.
Sterling Jennifer-Folker. 2005. Making Sense Of International Relations Theory. Lynne Reinner. USA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar